Lihat ke Halaman Asli

SMA N 6 Jakarta Vs. Wartawan - Sama-sama Over Acting

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Berita mengenai bentrokan lanjutan antara siswa SMA 6 Jakarta melawan wartawan terekspos ke media dengan intens. Sayangnya karena pemberitaan ini dikuasai oleh salah satu pihak, dalam hal ini wartawan, maka pemberitaan tersebut sangat terasa tidak menganut prinsip pemberitaan cover both side. Apapun, mereka yang terlibat hal ini tak seharusnya turut menulis pemberitaan, karena akan menjadi pincang dan membentuk opini publik yang miring bahkan cenderung berlebihan. Maka muncul wacana pemindahan lokasi SMA 6 Jakarta, karena dianggap sering tawuran. Lalu mengapa wacana ini baru muncul, ketika salah satu pihak yang dirugikan adalah wartawan yang menguasai ruang pemberitaan? Bukankah tawuran di SMA 6 khususnya melawan SMA 70 sudah sering terjadi sejak puluhan tahun yang lalu?

Sebagai alumni SMA 6, saya juga merasa terganggu dengan kelompok pelajar dalam SMA 6 yang menyebut dirinya sebagai "Gorasix". Keberadaan mereka saya nilai memang mengganggu, tidak hanya kepada lingkungan sekitar namun juga terhadap sesama siswa SMA 6 yang lain. Keberadaan mereka seakan turun temurun exis dan tak pernah lenyap, disamping kelompok pesaingnya, Trupala. Bahkan saya juga pernah mengalami ketika guru sekolah tersebut juga terlibat dalam tawuran, khususnya melawan siswa SMA 70 yang terletak tak jauh dari SMA 6. Tingkah polah mereka terasa begitu berlebihan dan jauh dari sikap pelajar yang seharusnya. Namun akibatnya seluruh siswa SMA 6 tercemar dengan tindakan mereka terutama di luar lingkungan sekolah.

Namun di sisi lain, sebagai mantan wartawan sebuah stasiun televisi swasta nasional, saya juga merasakan adanya tingkah polah teman-teman wartawan yang selalu merasa lebih berkuasa. Jangankan dengan siswa SMA yang usia dan pengalamannya jauh di bawah teman-teman wartawan, kadang dengan polantas pun mereka merasa hebat dan merasa layak mendapat perlakuan khusus seperti tidak ditilang bila melanggar lalu lintas. Seperti pada kejadian hari Senin kemarin, apakah pantas wartawan memaksa sekolah untuk melakukan sweeping ke kelas-kelas yang sedang berlangsung kegiatan belajar mengajar untuk mencari pelaku pemukulan? Bagaimana bila kita balikkan keadaan, bila ada siswa atau anggota masyarakat yang dirugikan atau dipukul oknum wartawan, apakah jajaran media bersedia bila ruang redaksi digeledah dan diacak-acak secara sepihak? Mengapa mereka tidak melaporkan ke polisi saja sebelumnya.

Sudah seharusnya kedua belah pihak tidak bertindak over acting. Karena menurut saya, siswa-siswa bengal seperti itu, di kemudian hari, bila menjadi wartawan, juga akan menjadi wartawan yang sok-sok an.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline