Galau teroooosss~
Gara-gara tulisan sendiri, sering kali saya dikomentari demikian. Terutama tulisan yang genre-nya saya labeli fiksi.
Tidak salah memang. Sebab kalau dilihat-lihat, aliran yang saya bawa seringnya memang tentang patah hati, yang ditinggalkan, rindu, kesepian,--hal-hal yang menyebabkan kegalauan lainnya. Jadi saya juga setuju-setuju saja. Bahkan suatu waktu seorang kompasianer --sebut saja Syahrul Chelsky---mengatakan dalam sebuah artikelnya (ini) bahwa saya itu (dimatanya dan mungkin menjadi penilaian yang lain juga) begini:
"Selain itu dirinya juga tidak jarang mengisi rubrik Fiksiana. Tentang patah hati atau kekecewaan,"
Ya, saya juga sepakat, sangat.
Namun, bagaimana jika saya lemparkan pertanyaan begini: Kalau nulis tentang galau apa artinya penulisnya juga? Hayo. Sebagai yang nulis, jawaban saya bisa duwaaa~~ ya bisa ya tidak.
Ya bisa. Hanya saja kalau terlalu galau, saya justru tidak bisa menulis dan memang tidak ingin menulis. Saya lebih suka meratapi sambil rebahan, lalu menangis---semalaman. Halah-halah.
Nah, setelah masa-masa kritis itu lewat, saya baru bisa menuliskan apa yang saya rasakan. Mengambarkan perasaan yang saya alami dengan kata-kata, dengan diksi yang kiranya pas dan enak jika dibaca berulang-ulang.
Semacam ritual mendaur ulang perasaan yang sebenarnya tentang hati yang luluh dan berantakan agar lebih nyaman dikenang. HAHA.
...dan fiksi mampu melakukannya. Mengubah yang patah jadi indah.