Lihat ke Halaman Asli

Listhia H. Rahman

TERVERIFIKASI

Ahli Gizi

Mengkaji Salam Tempel, Dari Keluguan Anak-anak sampai Perlu Nggak?

Diperbarui: 11 Juni 2018   22:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi | www.dubaipost.ae

Ada yang selalu muncul ketika lebaran tiba, berwujud amplop berisi lembaran kebahagiaan. 

Kalau mau dibandingkan, salam tempel memang tidak jauh berbeda dengan bagi angpao yang familiar dilakukan oleh masyarakat Tionghoa. Jika angpao punya ciri khas berwarna merah yang biasanya berisi uang  sebagai hadiah menyambut tahun baru Imlek atau perayaan lainnya. Salam tempel juga menggunakan amplop namun tidak harus berwarna merah yang berisi hal yang sama, uang. 

Definisi dari kbbi sendiri, mengartikanya sebagai salam yang disertai uang (atau amplop berisi uang) dan sebagainya yang diselipkan dalam tangan orang yang disalami. Jadi memang tidak harus beramplop juga sih.

Dilihat dari tujuan salam tempel ini juga sebelas-dua belas dengan angpao, yaitu sebagai bentuk hadiah. Misal, salam tempel sebagai hadiah karena telah melewati puasa sebulan penuh. Ya, karena salah satu tujuannya yang seperti itu, maka tidak heran juga jika kebanyakan salam tempel punya sasaran utama yaitu anak-anak. Meski tidak menutup kemungkinan yang beranjak dewasa pun dapat  --dan sebenarnya juga sama-sama membutuhkannya- seperti bagi yang masih punya status mahasiswa. Keberadaan salam tempel bisa turut membantu dalam kelancaran studi, buat bayar print-print-nan, photo copy belum lagi kalau nanti ada revisi. HAHA.

Berbicara salam tempel memang bukan menjadi budaya Indonesia saja, karena Arab pun punya yang hampir serupa. Masyarakat Arab menyebutnya Eidiyah,  hadiah uang yang diberikan dari orang yang lebih tua atau kepala keluarga kepada anak-anak sebagai hadiah Idul fitri. Mirip, hanya beda istilah saja bukan? 

Keluguan Anak-anak

Ada cerita yang cukup menggelitik soal salam tempel ini. Cerita yang kejadiannya sudah setahun lalu tetapi mungkin akan tersimpan terus dalam ingatan. Ceritanya bukan saya yang menjadi peran utama, melainkan murid-murid Ibu.

Sudah beberapa tahun belakangan, Ibu mengajar di sekolah dasar yang lokasinya tidak jauh dari rumah. Cukup berjalan kaki saja bisa dan tidak butuh waktu yang lama. Begitu pula hampir sebagian besar murid yang bersekolah di sana,pun rata-rata tidak jauh dari rumahnya. Masih disekitar situ juga. Karena lokasi rumah Ibu yang tak jauh dari sekolah dan rumah mereka inilah, jadi tidak heran jika jelang lebaran rumah Ibu selalu jadi tujuan silaturahmi.

Nah, lebaran kemarin Ibu kedatangan murid-murid yang diajarinya. Tidak semua, tetapi lumayanlah. Ibu memang sudah sering menduga akan kedatangan mereka dengan menyediakan  makan-makanan   khas anak-anak, seperti cokelat dan permen. Sebelum mereka pulang, Ibu juga sudah menyediakan beberapa lembar uang untuk mereka, 'salam tempel' karena sudah mengunjungi gurunya, barangkali maksud Ibu begitu. Lumayan buat jajan, buat mereka.

Hari berikutnya, Ibu masih kedatangan tamu murid-muridnya lagi, yang ini berbeda dari grup yang kemarin. Ya, yang berkunjung juga tidak hanya mereka yang berwali kelas-kan Ibu, tetapi juga murid-murid kelas lain yang saking banyaknya Ibu kadang sulit menghafalkan dari kelas mana saja.

Meski bukan murid kelasnya, perlakuan Ibu sama saja kepada murid-muridnya yang lain. Tidak ada yang menjadi spesial. Mereka juga kebagian jatah 'salam tempel' dari Ibu. Tetapi ternyata waktu itu tiba-tiba salah satu muridnya menolak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline