Lihat ke Halaman Asli

Listhia H. Rahman

TERVERIFIKASI

Ahli Gizi

Belajar dari Pengalaman, Berikut Tips dari Pemudik untuk Pemudik Lainnya

Diperbarui: 26 Juni 2017   14:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Sering saya mendapati pertanyaan , "Bagaimana rasanya mudik?". Saya bingung, saya malah balik bertanya, "Bagaimana rasanya memiliki kakek nenek dan saudara yang berdekatan?".

Istilah "mudik" bukanlah suatu yang baru untuk saya. Sudah sering saya menjalaninya. Bahkan sedari umur saya masih satuan. Saat itu diawali ketika Bapak yang mendapatkan penempatan kerja di luar kota,kemudian menyusul Ibu yang ikut pindah. Sebagai orang tua, barangkali mereka ingin membesarkan anak-anaknya bersama-sama meski harus merantau sekalipun.

Tepatnya sejak berumur dua tahun, saya sudah di bawa Ibu pergi merantau bersama bapak dan juga kakak yang saat itu di umur enamnya. Dibawa sejauh 276 kilometer, dari sebuah desa di Tasikmalaya Jawa Barat menuju sebuah kota kecil di Jawa Tengah, Temanggung.

Suka Duka Mudik, Saat Bus Jadi Teman Perjalanan Kami

Banyak cerita soal mudik yang pernah kami alami. Apalagi mengingat sudah lebih dari dua puluh tahun, kami selalu melakukannya. Jika dalam setahun kami mudik sekali tiap lebaran, maka bisa dikatakan sudah 20 kali mudik yang pernah kami lakukan.

Dulu diawal kami mudik, Bapak belum memiliki mobil, hanya sepeda motor merk yamaha berwarna merah satu-satunya. Motor yang selalu menjadi penjaga rumah kami, karena Bapak tak terpikirkan untuk membawanya ikut mudik. Barangkali  karena jarak tempuh Temanggung-Tasikmalaya yang memakan waktu hampir 8 jam dan juga anggota keluarga yang dibawa berjumlah empat (dengan bapak, ibu dan dua anak yang masih kecil). Bapak tidak ingin ambil risiko. Belum lagi ketika adik laki-laki saya lahir , jadi lima. Motor jelas tak akan muat lagi. Boro-boro buat mudik, main di keliling kota saja kakak sering mengalah untuk tidak ikut

Ya, menaiki bus jadi satu-satunya angkutan yang bisa jadi andalan kami tiap kali harus mudik. Andai ada program mudik gratis, tentu kami akan lebih bahagia lagi! 

http://mafiaharga.com I penampakan bus budiman

Bus Budiman, namanya. Bus yang memang asli kota "Tasik" ini memang dirasa paling pas. Meski untuk mendapatkan tiket dan keberangkatannya, kami harus pergi dulu ke kota sebelah, menggunakan bus "nanggung" arah Wonosobo untuk sampai ke terminal utamanya.

Kata Ibu, tiap kali saya mudik naik bus. Saya dan kakak paling suka bernyanyi dan menanyakan banyak hal yang dilihat selama perjalanan.

Sampai saya menamatkan bangku sekolah dasar, kami sekeluarga masih setia dengan Bus tersebut. Selama itu, suka dan duka yang pernah kami rasakan juga beragam. Contoh sukanya mudik dengan bus adalah ketika menaiki bus kami tak pernah merasa sendiri,karena selalu bertemu dengan pemudik lain yang memiliki tujuan yang sama. Soal keamanan di perjalanan, alhamdulilah juga selalu terjaga. Selama menggunakan bus, saya dan keluarga tidak pernah mengalami musibah kecelakaan lalu lintas. Kondisi bus yang baik dan rutin dirawat juga kondisi supir jadi salah satu kuncinya,saya rasa.

Kalau soal duka, ada kejadian yang masih terngiang di ingatan sampai sekarang. Kejadian itu saat arus balik. Waktu itu, kami pernah merasakan tidur di terminal sampai jelang tengah malam demi menunggu bus arah Wonosobo. Ngenesnya lagi, sewaktu bus datang kami tidak kebagian tempat duduk dan "terpaksa" harus berdiri.  Begitulah, namanya mudik apalagi dengan moda angkutan umum, kita gak sendirian dan harus siap kapan saja untuk berdesakan!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline