Lihat ke Halaman Asli

Listhia H. Rahman

TERVERIFIKASI

Ahli Gizi

[Edisi Spesial] Seni Mudik dan Pernak-perniknya

Diperbarui: 13 Agustus 2020   10:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Eh orang jawa udah pada sampai..”

Begitulah kalimat yang sangat familiar terdengar ketika saya sampai ke kampung halaman dengan sehat dan selamat. Tasikmalaya, sebuah kota di jawa barat yang tak pernah alpa saya kunjungi bukan hanya saat momen lebaran saja. Meski sudah menetap lama di Temanggung, kami tetap akan kembali pada rumah tanah kelahiran juga. 

Kembali pada kalimat diatas yah, saya terkadang lebih sering heran mendengarkannya ,“Emang tasikmalaya bukan di (pulau) jawa?”.Yaudah, tidak perlu bahas soal ini ya, karena bukan ini yang akan saya bahas.hehe.

Pulang ke kampung atau yang disebut mudik bagi saya bukanlah mitos belaka. Ya, hampir setiap tahun saya menjalani dan merasakan apa itu mudik. Berbeda dengan teman-teman lain di daerah sini, kebanyakan dari mereka rumah kakek nenek dan saudaranya masih dalam jangkauan dalam satu kota. Yaiyalah orang asli sini. Bagi mereka mungkin istilah hanya bisa sebatas didengar dari berita saja. Jadilah saya sering ditodong pertanyaan  , rasanya mudik itu gimana sih? Ya, kayak ada manis-manisnya gitu #eh.

Mudik dan Cerita yang Menyertainya

Perjalanan mudik dari tahun ke tahun telah mengalami (r)evolusi yang cukup signifikan bagi saya dan keluarga. Kalau tidak salah ingat, mudik di jaman saya duduk di bangku sekolah dasar merupakan mudik dengan perjuangan yang cukup ngoyo. Waktu itu Bapak belum memiliki kendaraan roda empat pribadi seperti hari ini. Jadi kami dan keluarga harus mampu memaksimalkan kendaraan umum yang sudah ada, naik bus pun pernah kami rasakan. Rasanya jika dibandingkan dengan hari ini, jelaslah beda. Tapi kalau diingat-ingat masa perjuangan dulu , kangen juga ya naik bus.

Dari cerita menarik seputar mudik yang telah saya alami, ada yang begitu teringat di otak saya sampai detik ini. Waktu jadi pejuang mudik dengan bus, saya pernah merasakan rasanya tidur di terminal sampai tengah malam menunggu bus budiman. Ya, itu menjadi cerita mudik yang tidak akan saya lupa, apalagi kalau melihat terminal. 

Bahkan untuk membuat hati anaknya tidak bosan menunggu, Bapak pun sempat membelikan saya tahu sumedang. Kemudian bus pun datang, dan apa? Penumpangnya ternyata sudah penuh duluan dari terminal pertama, Duh.. alhasil berdirilah saya tapi setelah itu tiba-tiba saya bangun sudah duduk dibangku. Saya tidak pernah ingat cerita seluruhnya sih, masih kecil dan unyu.

Kemudian cerita yang lain adalah ketika saya (sering) sampai di kota Tasikmalaya jam tiga pagi. Kami harus menunggu sampai fajar mengintip di sela-sela, menanti supir angkutan yang siap mengantar kami. Menunggu di terminal dengan semangkok bubur ayam bertabur kacang kedelai,  suwiran ayam yang bisa dihitung dan kuah kaldu serta  segelas teh panas hambar.

Hari ini, mudik sudah berbeda cerita. Alhamdulilah, telah ada kendaraan roda empat yang siap mengantarkan kami tanpa perlu menunggu di terminal lagi. Ya, tidak perlu lagi ada acara kardus-kardus yang dibawa kesana kesini, cukup letakkan saja di bagasi. Mungkin ini wujud nyata dari ungkapan “Bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian”. Jadi, untuk yang masih naik bus hari ini jangan khawatir, mungkin beberapa tahun lagi ada rejeki. Yakan, siapa tahu?

Ini Listhia mau bahas apa sih?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline