Lihat ke Halaman Asli

Mob Flash Mob untuk Mr. President

Diperbarui: 7 Desember 2015   15:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Visi ke depan adalah visi kompetisi. Tidak ada yang lain. Harus berani. Tidak ada kata yang lain. Sudah enggak bisa ditolak. Tidak bisa lagi kita bilang enggak mau. Enggak mungkin kita berniat menjadi negara tertutup karena ekonomi kita sudah lama terbuka”.

Begitulah pesan Presiden Joko Widodo saat berpidato dalam acara Kompas 100 CEO Forum di Jakarta pada hari kamis tanggal 26 Nopember 2015 lalu.

Saya sangat setuju dengan pesan tersebut. Swear., I like it., much!! Terasa ada semangat yang menyegarkan di dalam kata-katanya itu. Hal semacam ini memang harus segera kita bangun dan pelihara dalam jiwa kita agar negara ini bisa survive dan berjaya di era terbuka yang di tahun-tahun depan kian kompetitif. Ibaratnya kita ini akan segera bertarung dengan negara-negara lain, berebut untuk mendapatkan peluang dan keuntungan. Berebut mendapatkan kantao dan cuan. Tentu semangat yang kita butuhkan adalah semangat yang mengandung optimisme dan harapan, kehadirannya  ibarat hulu ledak yang luar biasa dahsyatnya yang mampu membangkitkan dan menggerakkan seluruh energi dan potensi yang ada. Bukan semangat yang sarat sensasi tapi miskin substansi.

Namun bukan hal yang mudah untuk dapat menghadirkan dan membangun sebuah semangat, begitu pula untuk memelihara dan menyebarkannya ke seluruh negeri ini. Perlu energi besar dan dorongan yang masif dan konsisten, tidak mungkin jika hanya segelintir orang saja yang menggerakkannya. Bisa masuk angin kan., hehe..

Persaingan yang dihadapi negeri ini bukan lagi persaingan di tingkat sektoral atau bilateral saja, tapi sudah bersifat regional dan internasional, mendunia. Isu yang semakin sering dimunculkan dan dibicarakan dalam berbagai forum internasional sekarang ini adalah tentang integrasi kawasan dan integrasi ekonomi, borderless. Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) yang diprakarsai Amerika Serikat, Kawasan Perdagangan Bebas Asia-Pacific (FTAAP) yang dimotori Tiongkok (Dollar dan Yuan tambahnya semakin sengit saja persaingannya), dan berbagai kerjasama ekonomi dengan negara-negara di luar ASEAN merupakan bukti tegas yang menandai adanya iklim persaingan tersebut. Saya khawatir sekali negara-negara lain telah berbenah dan sudah siap untuk merebut peluang dan mengambil keuntungan dalam setiap persaingan tersebut, sementara kita justru masih asyik jalan di tempat. Masih ribut soal kode etik dan politik destruktif yang menguras banyak energi.

Bangsa ini harus mampu menentukan prioritas utamanya dan berupaya keras untuk merealisasikannya dengan sebaik mungkin. MEA bukan hanya urusan Mr. President dan para pejabat elit saja, tapi urusan seluruh lapisan masyarakat dan bangsa. Bangsa ini butuh untuk segera diinjeksi atau dipompa semangatnya agar tidak (semakin) tertinggal dan dilibas negara lain. Perubahan jaman telah terjadi dengan begitu cepat sekali dan cenderung disruptif. Menakutkan sekali membayangkan akibatnya sekian tahun ke depan jika sekarang kita masih adem ayem saja, dan menganggapnya seolah dunia tidak ada yang berubah.

Kocek Negara

Terus terang, saya merasa bahwa negara kita ini belum berada dalam kondisi yang prima untuk menyambut MEA, TPP, dan bentuk integrasi ekonomi lainnya dalam waktu dekat ini, karena dua alasan, yaitu pertama, kondisi keuangan negara, kedua, etos kerja pegawai/masyarakatnya. Bahwa kondisi keuangan negara kita sekarang ini kurang menggembirakan tentu kita sudah dapat merasakannya. Negara sedang tidak punya duit yang banyak! Tidak berlebihan jika saya katakan bahwa jika negara ini tidak ingin terseok-seok, maka negara harus punya prioritas khusus untuk menggemukkan keuangannya segendut mungkin. Apalagi jika punya target untuk memenangkan kompetisi antar negara. Negara harus tebal koceknya! Ibaratnya, jika ingin menjadi saudagar yang hebat, maka negara ini harus menjelma menjadi saudagar yang kaya, dan banyak fulusnya. Jadi, mau berbuat apapun bisa., tidak (serba) terbatas dan tidak ada yang membatasi. Bukan jadi saudagar yang pas-pasan, atau yang jeblok fulusnya. Jika jeblok, maka predikat saudagar akan merubah menjadi kuli! Disuruh kesana kemari harus mau, harus nurut. Mau makan saja harus nurut antrian, alamaaakkk...!!!

Saya sependapat bahwa uang memang bukan segalanya, tapi segalanya perlu uang. Untuk itu, maka pemasukkan negara, baik yang berasal dari pajak, bea dan cukai, atau lainnya, (kecuali utang) harus dimanage dengan baik. Negara perlu cemas jika setiap tahun dana yang dimiliki tidak mencukupi untuk pembangunan, alias defisit, dan tahun ini sangat besar defisitnya.

Di berbagai media telah banyak diberitakan bahwa kondisi keuangan negara yang defisit ini salah satu sebab utamanya adalah kurangnya penerimaan pajak. Karena penerimaan pajak berkontribusi lebih dari 70% pendapatan negara, maka jika penerimaan pajak jeblok, secara otomatis keuangan negara juga akan terseret jadi jeblok juga. Jika kekurangan penerimaan pajak tahun ini mencapai hingga lebih dari Rp300 triliun, dan diperberat dengan penerimaan dari bea cukai yang juga diperkirakan akan shortfall sekitar Rp. 25 triliun dari target Rp. 149,99 triliun, maka pemerintah harus mengkaji ulang kegiatan pembangunannya senilai Rp. 325 triliun juga. Dalam bahasa yang sederhana, jika tahun ini pemerintah berencana membangun sekolah, rumah sakit, jembatan, jalur kereta api dan jalur transportasi lainnya, memberi subsidi pupuk, membangun fasilitas untuk anak yatim dan anak terlantar, dengan anggaran total Rp. 325 triliun, maka semua itu terancam batal. Rencana tinggal rencana. Bisa bubar jalan semuanya. Bagaimana jika pemerintah bersikeras untuk tetap merealisasikannya? Nah., jawabannya sudah diwacanakan oleh wapres berikut ini:

"Kekurangan penerimaan pajak hanya dua solusinya, ialah mengurangi pengeluaran atau menambah utang," kata wapres pada suatu kesempatan beberapa waktu lalu. Jadi ternyata, pemerintah sudah ancang-ancang untuk utang lagi, artinya nilai rupiah juga siap-siap akan tergerus dan tergerus lagi. It is so spooky...

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline