Lihat ke Halaman Asli

Bahasa Indonesia di Mata Orang Polandia

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1347270664581764560

Saat menghadiri sebuah workshop bagi mahasiswa di kantor wisma Tempo, Puncak, Bogor, 2011 lalu, ternyata juga dihadiri peserta yang berasal dari Polandia. Nampaknya perempuan bule itu sudah cukup lama di Indonesia. Hampir 5 tahun ia memilih berdomisili di Indonesia, sebab ia tertarik pada budaya dan alam Indonesia, tak terkecuali bahasa Indonesia. Sebelumnya, ia bercanda ria memberi pertanyaan kepada saya: "Apa bedanya Indonesia dengan Polandia?" Susah sekali pertanyaan si perempuan bule ini. Bagi saya, ia sudah cukup lama di Indonesia, sementara masa kecil dan masa mudanya dihabiskan di Polandia, wajar kalau dia bisa memahami karakter Indonesia dan Polandia. Berbeda dengan diriku, keliling Indonesia dari Sabang sampai Merauke saja belum, apalagi ke Polandia? Akhirnya saya menyerah. "Bedanya, kalau Indonesia warna merah bendera di atas, kalau Polandia warna merahnya di bawah," jawabnya sambil tertawa terbahak-bahak. Aduh, orang asing berhasil ngerjain orang pribumi. Keakraban dalam bercanda ria membawa pada topik pembicaraan ihwal bahasa Indonesia, setelah sebelumnya membahas banyak tentang budaya dan alam Indonesia. Bahasa Indonesia Itu Mudah Katanya, selain menarik, ternyata bahasa Indonesia menurutnya lebih mudah dipahami ketimbang bahasa-bahasa lain, bahasa Inggris, misalnya. Ia bergumam, dalam bahasa Indonesia tidak ada kata kerja lain di beda waktu. Misalnya, untuk berbicara "makan" tidak harus repot menghafalkan eat, ate, eaten, eating, seperti dalam bahasa Inggris. "Mau sedang melakukan, sekarang, lampau, ke depan, dalam bahasa Indonesia sama saja," katanya dengan logat bahasa Inggris. Selain masalah kata kerja (verb), penyusunan kalimat dalam bahasa Indonesia juga lebih simple, sederhana ketimbang bahasa Inggris. Sebagai orang yang berbahasa resmi Polsky (bahasa resmi Polandia), jika dibandingkan, ia menekankan bahwa bahasa Indonesia lebih mudah dikomunikasikan ketimbang bahasa Inggris. Tapi kok, malah jadi aku yang dicerahamin ya? Padahal, seharusnya aku yang ceramah tentang bahasa Indonesia. Tapi tak apa. Biarlah saya menjadi pendengar setia, menyenangkan orang lain. Biarlah dia mengeksplorasi apa yang ia peroleh di Indonesia mengenai bahasa Indonesia. Bagi saya, berbahasa Indonesia secara baik dan benar dalam konteks "mata pelajaran" maupun "mata kuliah", sangat sulit. Berulang kali menjawab, tetap saja disalahkan dosen. Ujian bahasa Indonesia pun mendapat nilai paling buruk di antara nilai yang lain. "Si bule memang belum pernah belajar bahasa Indonesia yang baik dan benar," kataku dalam hati sambil tersenyum. Dari peristiwa ini, saya menyimpulkan bahwa bahasa Indonesia apabila dipakai sebagai bahasa komunikasi verbal (speaking, listening) memang lebih mudah. Si bule asal Polandia ini menjadi bukti dan saksi hidup bahasa Indonesia memang mudah dalam konteks "komunikasi". Tapi dalam konteks tata bahasa (grammar) yang baik dan benar (baca: baku), bagi saya bahasa Indonesia itu sulit. Buktinya, saya sebagai warga negara Indonesia, bahkan Indonesia tulen, tapi tidak bisa menjawab soal-soal bahasa Indonesia. Meski orang Indonesia tulen, belajar bahasa Indonesia adalah kewajiban. Sebab dengan belajar lah, menurut pengalaman saya, nilai mata kuliah bahasa Indonesia saya di akhir mata kuliah mendapat A (4,0). Itu karena saya belajar bahasa Indonesia secara baku melalui buku bahasa Indonesia. Kalau belajar di sinetron nanti justru munculnya: elu, gue! Hehe. Bahasa Indonesia Itu Unik Sekaligus Multikultural

Selain bahasa Indonesia mudah dikomunikasikan, bahasa Indonesia juga unik. Kata si bule, meski bahasa Indonesia adalah bahasa yang digunakan warga Indonesia, tapi bahasa Indonesia punya logat dan gaya bahasa yang beragam. Ia menceritakan saat ke Bali, bahasa Indonesia yang digunakan berbeda dengan yang digunakan di Yogyakarta, walau artinya sama. "Ini agaknya yang sangat membingungkan bagi pendatang dari luar Indonesia," katanya sambil menyeruput kopi di rerumputan dekat kolam renang wisma Tempo.

Bahasa Indonesia di Jakarta, Yogyakarta, Bali, dan di tempat-tempat lain memiliki gaya bicara berbeda-beda. Di sinilah letak keunikan bahasa Indonesia. "Bahasa Indonesia yang punya kekayaan logat bahasa mencerminkan bahwa Indonesia adalah negara yang multikultural. Bahasa yang unik sekaligus multikultural," katanya.

"Kalau begitu, bahasa Indonesia dengan logat daerah mana yang kamu suka?" tanyaku. "Bahasa Jawa, karena tinggalku di Jogja," katanya sambil bereksperimen dengan bahasa Indonesia berlogat Jawa.

Saya juga tercengang saat menawarkan jajanan ringan kepadanya. Bukannya menjawab terima kasih (bahasa Indonesia), thanks (english), atau dziękuję (polsky), tapi malah menjawab matur suwun (bahasa Jawa).

Campurkan, Bukan Campuran!

Kalau dari awal saya selalu (dan melulu) mendengar ocehan dari si bule dari A hingga Z dengan bahasa campur-aduk (Indonesia-Inggris), dari perihal kehidupannya di Jogja, masa kecilnya di Polandia, hingga ketertarikannya pada Indonesia, kini tiba saat saya dibikin tertawa terpingkal-pingkal oleh tingkah polah si perempuan bule itu yang tengah asyik bereksperimen menggunakan bahasa Indonesia.

Jeda sejenak berbicara, saya mengambil secangkir teh dengan gula yang belum saya aduk sebelumnya. Bukan karena saya sengaja belum mengaduk, tapi memang lupa mengaduknya.

Si bule memperhatikan secangkir tehku. Sebagai rasa peduli, ia berusaha keras menasehatiku dengan bahasa Indonesia. "Campuran! Campuran!" katanya sambil menunjuk ke arah secangkir teh yang saya bawa.

Saya kali ini bingung, kenapa dia bilang "campuran". Setelah saya lihat ke arah cangkir, ternyata timbunan gula masih terlihat jelas di bawah air teh. Saya berpikir sejenak. Bukannya mengiyakan, atau menyampaikan terimakasih, tapi justru dengan spontan saya tertawa terbahak-bahak.

Bagi saya, kalimat si bule itu sangat lucu, hingga membuat perutku terkocok sakit. "Oh, kalimatnya harus campurkan, bukan campuran!" jawabku.

"Kalau campuran itu noun. Tidak bisa digunakan untuk menyuruh seseorang melakukan sesuatu. Kalau ingin menyuruhkan mengaduk gula ini, bilangnya: campurkan, pakai verb atau bentuk imperative," kataku menjelaskan.

"Mencampurkan gula dengan air, dalam bahasa Indonesia lebih lazim menggunakan kata mengaduk, yang artinya mencampurkan benda padat dengan benda cair," jelasku njelimet.

"Oh, begitu ya, iya-iya" jawabnya dengan logat khas lidah bahasa Inggris.

Diskusi ihwal keindonesiaan yang lebih banyak mengupas masalah bahasa Indonesia dengan perempuan asal Polandia ini berakhir ketika waktu istirahat acara usai. Percakapan itu membuat saya berpikir: orang asing saja belajar keras bahasa Indonesia secara baik, padahal bahasa Indonesia bukan menjadi bahasa dunia, sementara kita sendiri gengsi dan merasa lebih prestis kalau menggunakan bahasa asing.

Pengalaman penggunaan bahasa Indonesia dengan orang Polandia ini membuat hati saya berteriak kencang: "Saya cinta bahasa Indonesia!"

[caption id="attachment_204978" align="alignleft" width="150" caption="Dokumentasi - penulis nomor pertama dari kanan, si bule asal Polandia nomor dua dari kanan, dan dua peserta lainnya"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline