Lihat ke Halaman Asli

Vriska Liska Sihombing

#perempuanadalahmasadepan

Hak Asasi Perempuan (HAP)

Diperbarui: 10 Desember 2021   14:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar: Samsaranews

HAK ASASI PEREMPUAN (HAP)

Perempuan selalu menjadi pembahasan yang tidak ada selesainya untuk dibahas. perempuan sering tersubordinasi, perempuan yang dianggap lemah, perempuan yang hanya dikira sebagai mesin produksi anak, perempuan pemelihara peradaban, perempuan yang tidak memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki, perempuan sebagai ibu bumi, perempuan adat, dan perempuan-perempuan lainnya lagi tidak pernah selesai untuk harus dibahas hanya kedalam sebuah perdiskusian dan dalam judul jurnal. perempuan adalah cerminan dan muara daripada ketimpangan demokrasi itu sendiri. cerminan demokrasi yang timpang di negri yang demokrasi. kalian bisa lihat di tulisan saya yang sebelumnya.

Tulisan ini akan membawa kita untuk mengetahui hak-hak yang melekat dalam diri perempuan ketika berhadapan dengan hukum, berhadapan dengan hukum artinya payung hukum yang melindungi perempuan dalam peraturan perundang-undangan, akan tetapi hak-hak sebagai individu tidak pula menjadi luput untuk disajikan ke dalam tulisan ini. karena kita semua sebagai individu yang berperan penting di dalam menjamin terlaksananya hukum. seorang Filsuf dari Roma Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) dalam adagiumnya mengatakan Ubi Societas Ibi Ius  atau dimana ada masyarakat disana ada hukum. hukum menjadi eksis karena masyarakat juga masih ada. kita hidup berdampingan dengan hukum, begitu saya menyingkatnya.

Kasus seorang Mahasiswi Universitas Brawijaya berinisial NW yang mengakhiri hidupnya dengan mengonsumsi racun dan ditemukan sudah tidak bernyawa di samping makam mendiang ayahnya memberi kengerian tersendiri bagi tiap orang yang membaca beritanya. hal itu dia lakukan akibat depresi yang dialami dan tekanan yang dia terima dari mantan pacarnya yaitu Bripda RB (Anggota Polres Pasuruan) yang menurut pemberitaan telah memerkosanya, memaksanya dua kali melakukan aborsi (menggugurkan kandungan) masing-masing pada bulan Maret 2020 dan Agustus 2021 dan tidak bertanggung jawab atas tindakannya. peristiwa ini sangat tragis dan merepresentasikan tindakan anggota polisi yang tidak mencerminkan etika sebagai aparat hukum yang ramah hukum, dan tidak peka HAM (Hak Asasi Manusia)

Hanya karena seseorang itu berseragam dinas atau berprofesi pangkat  tidak secara langsung orang-orang jenis ini sadar hukum apalagi mengaplikasikannya. dan yang paling tidak dapat diterima dalam opini sipil memandang betapa seorang yang aparat hukum pun bisa mencederai wajah hukum. Bripda RB secara internal melakukan perbuatan melanggar hukum Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 Perkap Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia serta dijerat Pasal 7 dan Pasal 11. Secara eksternal dijerat dengan Pasal 348 Juncto 55 KUHP tentang sengaja menggugurkan kandungan atau mematikan janin. buah dari tindakan Bripda RB ini mau tidak mau telah mencoreng nama kelembagaan negara dan cerminan polisi yang tidak ramah juga tidak mengayomi masyarakat.

Sebagai aparat yang juga mengayomi masyarakat harusnya Bripda RB ramah kepada setiap warga masyarakat terkhusus kepada perempuan dalam hal ini Saudari NW. Memang tidak semua perempuan tergolong dalam kelompok yang rentan akan tetapi dalam penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kelompok masyarakat yang rentan, antara lain, adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat.

Perempuan dalam kehidupan sehari-harinya seringkali mengalami tindakan seperti yang dialami oleh Korban NW. Korban NW masih salah satu yang terungkap. lalu bagaimana lagi kejadian-kejadian serupa yang tidak terungkap. korban-korban lain yang enggan bersuara karena di ancam, di represi, di kucilkan dan di rundung. kejadian seperti ini semakin memberikan dampak trauma tersendiri bagi banyak perempuan lainnya. mengingat ruang publik yang tidak aman baginya dan cenderung mengucilkannya. belum soal stigma yang dibangun publik atas perempuan, terlalu banyak ketakutan-ketakutan yang menghalangi akses bagi perempuan untuk berperan. belum di diskriminasi, belum lagi perempuan menjadi korban pelecehan seksual.

Keterbatasan akses, sering di stigma membuat perempuan sulit menerima kenyataan bahwa dia sudah berada ditempat yang benar untuk berkarya. di daerah, perempuan lebih sibuk dengan kerja-kerja domestik yang padahal bisa dikerjakan bersama antara laki-laki dan perempuan sehingga perempuan dapat memiliki ruang untuk mengedukasi dirinya, mengakses hak-hak nya sebagai perempuan. sehingga suar soal hak-hak perempuan ini tidak hanya dapat diketahui hanya pada dinding-dinding pengadilan yang bertuliskan hak dan kewajiban perempuan dalam sebuah poster.

Dari kejadian yang dialami korban NW, sebagai perempuan kedepannya kita bisa mencegah dengan mengedukasi diri dengan terlebih dahulu memahami hak-hak perempuan dan mengakses payung hukum yang melekat baginya. tidak mau disubordinasi dan mengedepankan prinsip kesetaraan dalam setiap hubungan yang dibangun dimana pun berada. ramah hukum dan peka HAM.

HAK ASASI MANUSIA (HAM)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline