Saya mengenal dunia tulis menulis secara formal sejak saya duduk di bangku kuliah. Di awal perkuliahan saya mendaftarkan diri menjadi anggota baru FLP Ciputat yang kesekretariatannya sangat dekat dengan kampus saya.
Sejak menjadi anggota FLP Ciputat bahkan sekarang sudah diamanahi untuk menjadi pengurus, saya lebih banyak menulis fiksi dan beberapa tulisan ringan yang masih saya kurung dalam blog pribadi dan catatan facebook saya. Selama bergabung dengan FLP Ciputat, saya juga menjadi lebih sering mengikuti lomba-lomba menulis dan lebih sering berbincang dengan beberapa penulis yang sudah punya nama.
Sampai sekarang, meskipun sudah memiliki beberapa antologi bersama teman-teman FLP, saya masih belum memiliki keberanian untuk menerbitkan buku solo. Alasan yang selalu keluar dari mulut saya adalah saya belum berani menulis solo dengan ilmu yang sedikit ini. Cukup naif memang alasannya. Tapi memang itu alasan kuat yang masih saya pegang hingga saat ini.
Berangkat dari sinilah saya selalu berhati-hati dalam menulis. Prinsip saya; semua ada pertanggungjawabannya. Pun itu dengan rangkaian kalimat yang saya sampaikan melalui tulisan. Nah, memasuki dunia kepenulisan yang lebih serius ini, saya mulai dihimpit oleh dua hal yang membuat saya harus berpikir ulang. Yakni menulis untuk ladang amal atau untuk bisnis kepenulisan.
Tulisan ini saya buat karena saya sempat terkejut ketika beberapa hari lalu membaca tulisan penulis muda sekaligus senior saya yang cukup saya kenal. Tulisannya mejeng di salah satu koran lokal. Tema yang diusung penulis muda ini adalah “Berbisnis dalam Kepenulisan”. Membaca judul ini saya langsung mengerutkan dahi.
Memang saya ketahui organisasi kepenulisan yang saya ikuti ini memiliki literari agency yang bekerja sama dengan banyak penerbit di Indonesia. Beberapa teman penulis yang saya kenal dan bergabung dalam bidang perbukuan (dalam FLP Ciputat ada enam bidang kepenulisan, salah satunya perbukuan) menulis ketika ada “orderan” dari penerbit. Tentu saja siapa saja yang bergabung dalam perbukuan bisa menulis untuk “orderan” ini. Ya, sekalipun yang menulis ini bukanlah orang yang ahli dalam bidangnya.
Dan keseringan, mereka yang bergabung dalam “proyek” ini mengambil informasi dari banyak media terutama internet.
Melihat pola di atas, saya agak kurang sreg. Entahlah, kata orang saya perfeksionis sehingga apa yang yang kerjakan harus benar-benar benar dan terlihat sempurna. Tapi bukan perihal sempurna yang saya tekankan, melainkan kebenaran dari tulisan saya.
Pernah seorang senior di FLP Ciputat meminta saya menulis sebuah buku nonfiksi yang sesuai dengan bidang saya, yakni farmasi. Buku itu sempat saya tulis hingga beberapa bab, tapi tulisan itu saya diamkan hingga sekarang. Sebenarnya, bukan karena pikiran saya buntu dan tidak mampu meneruskan. Hanya saja, saya yang masih kuliah merasakan ada keganjalan dengan hal-hal yang saya tulis. Saya masih merasa kurang ilmu untuk menuliskan buku kesehatan yang notabene memerlukan keakuran data. Apalagi tema yang saya angkat adala kesehatan dan pengobatan dalam Islam. Dalam hal ini harus ada kesinkronan antara al-quran, hadits, fakta, dan penelitian.
Karena ini “mogok” menulis saya ini, beberapa orang yang saya kenal sempat menyayangkan keputusan saya. Tapi saya tetap keukeuh pada pilihan saya, bahwa apa yang saya tulis harus hal yang benar, bukan sekadar “comot” dari apa yang saya baca. Saya bertekad bahwa apa yang saya tulis harus sesuatu yang sudah saya kuasai, agar nantinya tidak salah tulis dan malah menyesatkan pembacanya.
Agama saya mengajarkan bahwa segala sesuatu bermula dari niat, demikian juga dalam hal menulis. Dan saya pun mulai memmutar balik kronologi keterlibatan saya dalam dunia kepenulisa. Alasan pertama saya menulis adalah karena saya ingin menyampaikan apa-apa yang saya ketahui kepada banyak orang.
Selain itu, karena saya sangat menyukai sastra, saya ingin mengekspresikan pikiran dan opini-opini saya kepada banyak orang melalui sastra. Karena dua alasan inilah kadang saya mulai ragu ketika ada yang menawari “proyek” tulisan dengan tujuan utama uang.
Memang munafik jika saya berkata saya tidak menginginkan uang atau honor dari tulisan saya, tapi honor bukan tujuan utama saya dalam menulis. Seperti yang diajarkan oleh agama saya, kata pertama yang disampaikan dalam proses turunnya al-quran adalah “Bacalah!” Bagi saya, sepenggal kata perintah ini bukan sekadar seruan untuk membaca, melainkan lebih dari membaca, yakni menyampaikannya dengan pena atau dengan kata lain menulis.