Lihat ke Halaman Asli

[RAMEN] Sepenggal Kisah Icul

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi

"Mak ...," suaranya menggantung. "Haa ...," sahut Emak sambil menghitung recehan yang ada di dalam kantung lusuh. Jemarinya maju mundur di atas aspal yang tak lagi hitam. Kedua bibirnya membulat, memonyong bersama kedua matanya yang masih melihat lurus ke jalan. Debu kota dan kepulan polusi tak lagi asing bagi hidungnya. Semua ini sudah menjadi santapan sehari-harinya. "Mak ...," katanya lagi masih dengan nada yang menggantung. "Ape sih, Lo! Emak, Emok, Emak, Emok. berisik tahu. mau ngapain sih, Cul?" Emak menanggapinya ala seorang ibu jalanan. "Emak punya duit gak? "Yee, pake nanya. Ni yang gue pegang duit. Duit receh. Emang lo mau beli apaan sih?" "Nggak mau beli apa-apan sih, Mak. Umm, kagak jadi deh, Mak." Icul beranjak dari tempatnya dan berjalan menyusuri trotoar dengan mata nanar. "Coba ... Emak ngertiin Icul, ya!" *** Kulit telapak kakinya bersentuhan dengan batu-batu hitam yang tertata menjadi tempat pejalan kaki melangkah di pinggir jalan raya, di depan gedung-gedung mewah. Sesekali matanya terpaku pada gerombolan anak-anak sebayanya yang berpakaian putih-biru. *** Ketika terlalu sering kumelihat mereka yang harus mengenal kerasnya Jakarta di masa-masa masih ingin bermain dan belajar bersama kawannya.  Cuma di Indonesia, orang miskin dilarang sekolah. Dan masih banyak Icul-Icul lainnya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline