Membaca karya sastra sebenarnya adalah kesediaan membuka diri. Narasi dalam karya sastra merupakan cerminan ideologis pengarangnya. Maka saat kita membacanya, sebenarnya kita sedang dihadapkan pada dua pilihan: melakukan pemihakan atau perlawanan terhadap nilai-nilai yang sedang disodorkan pengarang ke hadapan pikiran kita.
Contohnya karya Pramoedya Ananta Toer, seperti Tetralogi Buru yang menawarkan ideologi kesadaran nasionalisme dengan penggambaran kekuatan kaum terpelajar dalam memulai pembaharuan.
Atau karya sastra yang banyak diminati generasi milenial saat ini, sebut saja Dee Lestari, mulai dari Serial Supernova hingga Aroma Karsa yang secara konsisten menjadi best seller dan menyumbang kontribusi positif pada kesusastraan modern Indonesia.
Begitulah kiranya, sastra tumbuh berkembang sebaya dengan zamannya. Ia menawarkan fenomena sosial dan geliat zaman dalam tiap larik alenianya, di samping menyusupkan ideologi pengarangnya di celah-celah konflik yang dibangun dalam cerita. Sehingga tak jarang pembaca yang terpikat oleh nilai yang dikandung dalam karya sastra yang dibacanya, akan ia peluk erat-erat sebagai prinsip hidupnya.
Buku adalah kumpulan doktrin yang dapat secara halus merasuki kedalam jiwa pembacanya. Maka, sastra dapat dijadikan senjata untuk menanamkan ideologi baru yang menyatakan kepentingan semua anak bangsa dan menjadi pengikat kohesi emosi serta cita-cita luhur bersama.
Terdapat empat langkah yang dapat diterapkan untuk membangun generasi milenial yang gemilang, yaitu;
Pertama, pemerintah daerah secara serius mendorong sastrawan untuk menggali kearifan lokal dan cerita rakyat untuk diramu menjadi karya sastra modern dan didistribusikan ke sekolah-sekolah sebagai upaya pemerintah menyiapkan generasi yang tetap memegang teguh nilai-nilai luhur kebudayaan Nusantara.
Maju dan berkembang tanpa meninggalkan akar kebudayaan, itulah ideologi nasionalis yang harus mengakar dalam kesadaran generasi milenial.
Kedua, keterjangakauan akses e-library yang memuat segala macam referensi aktual dan valid.
Digitalisasi karya sastra maupun karya ilmiah yang berkualitas akan mendorong peningkatan budaya literasi masyarakat, sehingga aktifitas nyinyir di media sosial atau asal berpendapat hingga menghujat pakar tidak lagi menjadi ironi, jangan sampai terjadi fenomena matinya kepakaran, dimana yang pakar malah dihina dan diabaikan penjelasannya.
Ketiga, guru pengampu mata pelajaran selain memberikan pengajaran keilmuan, harus pula rajin memberikan teladan kesalehan sosial. Mendidik sambil pula membimbing pembentukan karakter siswa yang saleh secara intelektual dan religius, sehingga tidak mudah terprovokasi.