"Bagaimana kabarmu, Ti?" Lelaki gempal bersuara berat itu langsung mengambil duduk dihadapanku. Memanggil penjaga warkop memesan kopi hitam kesukaannya.
Pertanyaan yang umum dilontarkan, namun jawaban "baik-baik saja" atau "tidak sedang baik" adalah jawaban yang membosankan. Dan entah mungkin sifat melankolisku saat ini sedang kelebihan muatan, sehingga pertanyaan biasa seperti itu saja sudah membuatku tidak nyaman.
"Alhamdulillah masih hidup, Mas." Jawaban jujur yang kucoba lebih-lebihkan dibubuhi senyum kecut.
"Kenapa? Mau bunuh diri lagi?"
Respon yang selalu menyebalkan. Kapan manusia satu ini berhenti mencampuri urusanku? Meyesal kemarin lalu mengadu tentang masalahku padanya.
"Kalau Mas Arya berminat, bolehlah bantu menghabiskan hidupku sekarang," aku nyengir ber-hehe menahan sebal.
"Kalau hidupmu itu seperti semangkok bakso urat hangat-hangat, kusantap sampai kuahnya tetes terakhir, Ti. Kamu ini ada-ada saja. Mau mati saja masih harus menyusahkan orang."
"Masalahnya kalau aku bunuh diriku sendiri masih takut, Mas. Takut sakit." Lagi-lagi harus mengarang jawaban ngawur berhias cengiran yang mulai kusesalkan.
"Mau mati kok takut sakit. Kalau mau bunuh diri itu ndak perlu banyak rencana, ndak perlu banyak strategi. Macam cerita detektif saja."
Kenapa harus membahasnya berlama-lama? Aku sendiri sudah bosan mendengar semua nasihatnya yang selalu aku iyakan namun jarang aku laksanakan. Aku cuma diam dan dia tertawa, entah apa yang terasa lucu olehnya, atau sarafnya salah menterjemahkan respon diamku dikira "Sarimin pergi ke pasar" kali ya.