"Jenengan ditunggu Kiai di ndalem, Bu." Seorang santri menghampiriku tatkala hendak meletakkan ransel berisi cucian kotor di asrama, baru saja kembali dari Surabaya dengan perasaan hancur.
Tuhan sedang menghiburku kiranya. Kiai dan wakil pengasuh memberikan amanah baru untuk menggarap perijinan klinik rawat inap, setelah setengah tahunan ini pengabdianku hanya berkutat di mengajar kimia dan ekstrakurikuler menulis saja. Biar ada gunananya kuliah di kesehatan, begitu dawuh Kiai.
***
Namanya Ghost, anggap saja begitu. Seminggu terakhir sudah empat kali dia muncul dalam mimpiku seperti hantu. Lahir dan besar di Flores, kuliah jurusan Manajemen semester tiga. Perkenalan pertama kami berlangsung di suatu acara bakti sosial.
Ia, lelaki jangkung dan berhidung mancung dengan kumis dan jambang yang dibiarkan tipis menutupi sebagian wajahnya. Aku yang sudah lulus S1 langsung menganggapnya adik tanpa ada indikasi lain. Sampai saat kita saling bersepakat menunggu pagi di pinggiran Suramadu, ekspektasiku tentangnya berubah.
"Lima tahun lebih di Surabaya dan kamu belum pernah makan nasi babat?" Tanyaku keheranan saat kuajak ia makan di warung pinggir jalan dekat Suramadu. Ia hanya tertawa tipis. Lalu diam. Cukup lama, terasa semakin canggung.
"Saya pernah daftar Stand Up Comedy." Tuturnya dengan logat ketimurannya, memecah kecanggungan. "Tapi tak jadi ikut, takut nggak ada yang tertawa." Ghost berhasil mencairkan suasana yang terasa begitu kaku. Awalnya aku hanya tertawa untuk menghormati usahanya melucu.
Lama, ia mulai banyak menceritakan kisah hidupnya yang dramatis tapi kami bisa puas menertawakannya bersama. Dia tipe lelaki yang humoris romantis, begitu kusimpulkan hingga kini.
Dibalik kesantaian dan selengekannya, dia jauh lebih memiliki sikap dewasa dari pada yang aku bayangkan. Ghost adalah anak pertama dari tiga lelaki bersaudara.
Selepas dari SMK Keperawatan tahun 2011 silam, orang tuanya sudah berencana mengirimkannya ke Makassar untuk kuliah. Tapi ia menolak. Suatu hari, ia kemasi beberapa bajunya dalam ransel.
Dengan uang seadanya ia pergi ke Labuan Bajo, berlayar menuju Pulau Dewata. Ia hanya sempat berpamit pada mama-nya dan berpesan untuk tidak mencari hingga ia sendiri yang kembali. Dalam pikiran Ghost remaja kala itu, ia harus belajar mandiri. Sebagai kakak tertua ia ingin memberikan contoh untuk tidak menggantungkan diri pada orang tuanya.