Lihat ke Halaman Asli

Suatu Saat, Mungkin Saya Butuh Asisten

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pic source : detik.images.com

[caption id="" align="alignleft" width="247" caption="pic source : detik.images.com"][/caption] Tinggal jauh (beda pulau) dari orangtua dan saudara memiliki beberapa konsekuensi. Segi positifnya, jelas jadi lebih banyak pengalaman dan lebih mandiri. Segi negatifnya (kalau-lah boleh dibilang negative), jadi agak repot ketika butuh pertolongan. (Di perantauan tentu saja ada tetangga, tetapi dalam beberapa hal, tingkat kedekatan dengan tetangga bikin sungkan untuk minta tolong -apalagi kalau keseringan butuh pertolongan :D). Sebab itu, bahkan sebelum anak saya lahir (Ale, sekarang 1,5 tahun), ibu saya sudah menyarankan agar saya menggunakan pembantu (istilah yang masih lazim digunakan meski saya sendiri sekarang lebih suka pakai istilah pramuwisma atau ART/asisten rumah tangga karena terasa lebih menghargai). Saran yang saya iya-iyakan tapi tidak juga saya laksanakan. Sampai sekarang. Tanpa ART, memang saya jadi miskin me-time. Suami masih menjadi karyawan dengan jam kerja yang tidak nine to five. Tapi kadang kebalik five to nine, bahkan travelling keluar kota sehingga saya hanya berdua dengan anak. Plus, suami juga bukan tipe "lelaki yang suka mengerjakan pekerjaan domestik". Ini jelas-jelas cita-cita yang tidak terpenuhi. Karena dulu, saya pengin punya suami yang peduli urusan domestik. Tapi, ini salah satu art of marriage kali ya.. menerima pasangan apa adanya -meski butuh perjuangan :D. Suami "malas" mengerjakan urusan domestik pasti ada sebabnya, seperti sudah capek kerja dan terbiasa dari sejak kecil (soal yang kedua, mertua saya mengakui kalau beliau memang tidak membiasakan anak-anaknya melakukan pekerjaan domestik). Nah, kalau sudah jadi kebiasaan kronis, butuh waktu dan perjuangan juga untuk berubah kan.. Oleh itu hampir semua urusan domestik plus merawat anak menjadi tanggung jawab saya. Apalagi, saya mulai merintis kerja di rumah. Tapi tak mengapa karena rasa-rasanya sih saya masih bisa menangani. Toh anak baru satu. Apalagi saya sekarang sudah sangat tertolong karena saya pakai jasa setrika (one of domestic works I hate so much :D). Memang, konsekuensinya rumah tidak sebersih dan serapi jika seandainya saya punya ART. Jika saya bertahan tidak menggunakan ART, itu bukan karena saya terobsesi jadi supermum.. ibu super yang sanggup melakukan segala-gala nyaris tanpa bantuan orang lain. Dan kalau ada ibu lain yang juga baru punya anak satu tapi pakai ART, saya juga tidak akan "meremehkan". Toh, orang kan beda-beda. Apalagi, saya tidak/belum pakai ART justru lebih karena alasan psikologis. (Kalau soal bujet, sepertinya bisa-bisa saja sih disiasati, misalnya dengan menghemat pos pengeluaran lainnya). Trauma?? Tidak juga sih. Dari dulu saya belum pernah pakai ART kok. Oiya, waktu masih lanjang memang pernah. Tapi itu juga "semi-asisten" karena si teteh hanya mencuci dan menyetrika (dan karena kebaikannya -atau justru kegemasannya melihat kondisi paviliun tempat saya tinggal-dia sering menyapu dan beres-beres. Sesuatu yang di luar job desc-nya hehehe). Dan si teteh itu baik. Jadi enggak ada alasan trauma. Tapi saya tidak/belum pakai ART justru karena tidak siap trauma, juga tidak siap jika ada orang lain setiap hari masuk rumah. Asisten juga manusia, ya kan? Tapi, budaya kita sepertinya telanjur menempatkan mereka di "kasta lebih rendah.". Mereka bukan golongan profesional, terbukti gaji-nya pun rata-rata di bawah upah minimum. Alasannya, mereka tinggal di rumah, jadi upah yang diterima sudah bersih. Yayaya, agak masuk akal sih. Sebab, kalau dipikir-pikir, dengan situasi itu, seorang asisten justru lebih mungkin untuk menabung daripada seorang buruh pabrik level bawah. (Dengan konsekuensi kerja tanpa jam). Karena ini, umumnya asisten berpendidikan rendah. Sesuatu yang kadang berhubungan dengan perilakunya. (Bukan berarti berpendidikan tinggi menjamin perilaku baik loh ya..) Tak heran banyak majikan sering dibuat jengkel oleh perilaku asisten. Kerja tak beres lah, sering minta pulang lah, tak betahlah, suka mencuri-lah dan lah-lah lainnya. Tentu saja ada asisten yang baik dan majikan pun puas dengan kerjanya. Tapi sering kan dengar keluhan ibu-ibu soal pembantu? Ouii...saya belum siap menjadi majikan yang baik, apalagi jika mendapat asisten yang tidak baik. Pun, mencari asisten bukan pekerjaan mudah. Saya juga belum siap jika ada "orang lain" yang ikut tinggal di rumah. Bukan berarti menganggap asisten sebagai "liyan". Tapi maksud saya, bahkan sekalipun itu saudara, dia adalah "orang lain", bukan anggota keluarga dekat. Saya dan suami ingin bebas di rumah (kontrakan) kami. Keberadaan asisten, bagaimanapun, akan mengurangi kebebasan itu. Kalau ada asisten, mana bisa mesra-mesraan atau sebaliknya bête-betean dengan leluasa? Sesuatu yang mungkin biasa disiasati dengan mencari asisten paruh waktu. Tapi balik lagi, mencari asisten, bukan perkara mudah (jadi sudah males duluan). Semua memang ada plus-minusnya. Suatu hari nanti, toh bisa saja saya menggunakan jasa asisten rumah tangga. Entah karena saya sudah siap atau karena terpaksa. LSD (www.lisdhakerjadirumah.com)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline