Bagi ibu-ibu Pro-ASI, cerita berikut ini tentu sangat memprihatinkan. Cerita ini nyata (hanya penyampaiannya yang mungkin agak saya dramatisasi ...deuuh sinetron banget :D). Yang bersangkutan (kita sebut saja Mawar) adalah pasien kakak saya, seorang bidan desa.
Mawar melahirkan bayi di rumahnya dengan dibantu kakak saya. Hari-hari pertama menjadi ibu, ASI Mawar belumlah lancar. Bayinya juga belum pandai menyusu. Menyusui bukan perkara mudah. Payudara bengkak dan puting terasa sakit. Belum lagi keletihan fisik dan psikologis pasca melahirkan.
Mawar menyerah. Susu formula menjadi dewa penolongnya. Bayi menangis, buatkan susu, minumkan. Habis perkara.
Sebagai bidan, kakak saya bilang, menyusui memang perlu belajar. Tidak semua ibu melahirkan, bisa langsung menyusui dengan lancar. Mungkin payudara perlu dipijat, atau dikompres air hangat, atau makan sayuran yang banyak dan bla bla bla .....sekian upaya lainnya.
Tapi Mawar bilang 'susah' dan 'repot'.
Ya sudah. Kakak saya pun tidak bisa memaksa. Ia hanya bisa menyampaikan apa yang semestinya ia sampaikan. Soal keputusan, itu kembali pada yang bersangkutan.
Hari demi hari, Mawar merawat bayinya dengan kemudahan susu formula. Bayinya tumbuh sehat dan minum susunya kuat.
Hingga suatu ketika, kesulitan keuangan melanda keluarga Mawar. Bukan lagi perkara mudah untuk membeli susu formula. Padahal, ASI sudah telanjur tidak keluar.
Ketika benar-benar tidak ada uang, keluarga Mawar pun sampai menggadaikan kain-kain batik yang mereka miliki demi membeli susu formula.
Duuuh, seandainya saja, kampanye ASI sedemikian gencar. Dan sebaliknya iklan susu formula-lah yang diminimalkan. Seandainya saja, informasi tentang memberi ASI bisa ia dapatkan dengan mudah sejak awal kehamilan.
Barangkali, Mawar akan demikian kuat 'terdoktrinasi' bahwa ASI-lah yang terbaik. Dengan demikian, Mawar tidak akan cepat menyerah ketika di hari-hari pertama, ASI belum bisa lancar. Dengan demikian, ia baru akan memberikan susu formula ketika indikasi medis menyatakan memang ada kesulitan yang menyebabkan ASInya tidak keluar. Dengan demikian, ia tidak perlu menggadaikan kain-kain batiknya.