Lagi sedang nikmat-nikmat makan malam, pada saat menggigit kerupuk yang adalah salah satu makanan wajib saya sesudah nasi tiba-tiba ada suara kriuk ganjil. Perasaan takut perlahan-lahan muncul, karena tahun lalu gigi saya pernah patah saat sedang makan tempe goreng.
Segera saya cek kunyahan, astaga ! Berita duka menghampiri, ada potongan gigi saya yang cukup besar. Melihatnya mau menangis. Cermin, mana cermin. Dari bayangan kaca terlihat gigi belakang sebelah taring saya tinggal 1/5 saja.
Itu juga tersisa tinggal bagian depan. Langsung saya termenung, terdiam. Gigi saya yang sudah patah setahun lalu, yang sisa setengah bagian, kini patah kembali.
Otak langsung berpikir keras, sementara tahun lalu ketika ke dokter, di sana saya meminta agar gigi saya di-crown oleh dia dikatakan tidak bisa, karena disampingnya sudah ada 2 Crown. Gigi ketiga adalah si gigi malang yang patah ini telah terpasang "bridge". Kalau tidak ada "bridge" ini, gigi saya bisa dimahkotai.
Apakah saya bisa menghadapi hidup dengan senyuman tanpa satu gigi. Memang, yang patah ini gigi samping belakang taring. Tapi pada saat tersenyum dibutuhkan kehadiran semua gigi depan. Saya langsung membayangkan harus memakai gigi palsu, kalau tidak ada pilih lain. Tapi saya tidak suka kalau mengalami hal ini.
Setelah menelepon sana-sini dan berselancar di dunia mbah google, saya mendapatkan metode lain, veneer. Hal pertama yang terlintas di otak saya mengenai veneer adalah artis-artis suka melakukan hal ini untuk memutihkan gigi mereka ternyata salah kaprah. Memang sedang trendnya veneer untuk kecantikkan gigi. Tapi veneer memang ditujukan mengatasi problema gigi patah.
Kalau untuk tindakan estetika adalah membuat lapisan depan dan dipasang pada gigi pasien sehingga menjadi putih dan dibuat bentuknya menjadi lebih proposional dan seragam.
Baiklah, masalah pertama selesai. Sekarang mencari dokter yang bisa melakukan tindakan. Sialnya saya mengalami gigi patah pada saat liburan lebaran, besoknya pada saat datang ke dokter gigi langganan tutup. Langsung saya kembali berkubang dengan masalah gigi ngilu akibat patah. Sementara menunggu, saya googling alamat beberapa dokter gigi. Pagi itu saya menelepon 6 klinik dokter, tidak yang merespon.
Hilang harapan untuk memperbaiki gigi secara cepat, terpaksa saya menghadapi hari-hari dengan mengkonsumsi makanan lunak. Saya jadi malas menelepon klinik. Dua hari kemudian barulah saya berhasil mengontak salah satu klinik.
Padahal sebelumnya saya sudah berencana untuk pergi ke klinik dokter langganan kenalan terpercaya. Tapi sang dokter baru bisa praktek 3 hari kemudian, terlalu lama menurut saya.
Ternyata dokter langganan kenalan saya tidak ahli dalam melakukan veneer, dia bisa tapi tetap disarankan ke dokter lainnya yang praktek dalam satu klinik. Baru saya sadari hal ini bahwa dalam satu klinik yang terdiri dari beberapa dokter, spesialisasi mereka berbeda-beda.