Pada aksi di hari Kamis (9/5/2019) yang lalu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) didatangi sekitar 200 orang yang mengadakan aksi. Salah satu di antara mereka adalah seorang Eggy Sudjana yang dituntut dipolisikan oleh caleg PDIP Dewi Ambarawati dengan dugaan pemufakatan jahat atau makar dan dugaan melanggar UU ITE Pasal 107 KUHP junto Pasal 87 KUHP atau Pasal 28 ayat (2) junto Pasal 45 ayat (2) UU RI nomor 19 tahun 2016 tentang informasi dan transaksi elektronik.
Eggy menjelaskan kedatangannya ke Bawaslu untuk menyampaikan segala kecurangan yang ia temukan pada Pemilu 2019. Tetapi ia ditemani massa yang menyebut diri Gabungan Elemen Rakyat untuk Keadilan dan Kebenaran (Gerak) dan melakukan kegiatan berunjuk rasa yang berawal di lapangan Banteng. Karena melakukan unjuk rasa tanpa disertai ijin dari berwenang maka aksi ini dibubarkan. Dia berdalih "poeple power" tidak membutuhkan ijin.
Demo berjumlah sekitar 200 orang, diklaim oleh Eggy bahwa mereka sudah dianggap sebagai "people power". "Ini bukti nyata people power walaupun belum banyak [tapi] inilah bentuk people power yang sesungguhnya, bukan people power untuk makar, takbir," ucap Eggy ketika aksi sedang berlangsung.
Menurut Eggy "People power" ini bukan kekuatan untuk makar atau upaya untuk menjatuhkan pemerintah yang sah. "Hanya" digunakan untuk memprotes adanya kecurangan dalam Pemilu 2019.
Lah, kok saya jadi bingung dengan perkataan dia yang adalah calon anggota legislatif dari Partai Amanat Nasional (PAN). Kalau hanya mau melaporkan, mengapa harus membawa massa? Beberapa orang yang kompeten juga sudah cukup. Ditambah seruan-seruan ancaman untuk memobilisasi massa yang jumlahnya lebih banyak, ditambah kegaduhan lag-lagi menyatakan pasangan #02 menang ? Lah, menurut saya ini tampaknya bukan mau melaporkan kecurangan tapi barisan sakit hati yang sedang mengamuk karena paslon yang diusungnya gagal.
Belum lagi karena aksinya yang tidak jelas antara mau demo atau mau melapor ke Bawaslu membuat macet jalan ibukota Jakarta. Warga Jakarta sudah muak menjadi korban kemacetan akibat unjuk rasa. Lalu esoknya mereka melancarkan aksi yang sama pada Jumat (10/5/2019) dengan jumlah pendemo yang lebih banyak.
Dalam demo ini, mereka menuntut penyelenggara Pemilu mendiskualifikasi pasangan calon presiden nomor urut 01 Jokowi-Ma'ruf. Waduh, kok bisa ?
Sebelum Bawaslu digeruduk oleh massa. Salah satu pihak KPU, Hasyim di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (24/4/2019) berkomentar, "Secara hukum orang itu kan prinsipnya barang siapa mendalilkan, harus membuktikan. Kalau orang nyebut curang, nyebut manipulasi, beban pembuktian kepada yang ngomong." Dia melanjutkan, "Tapi kalau mau tabayyun, mau klarifikasi, ke KPU. Kami kan terbuka setiap hari."
Komentar dari pihak TKN mengenai aksi pihak #02 selalu menghembuskan isu curang yang diangkat sejak hasil Quick Count keluar pun terlontar. "Ini quick count kan bedanya 9 sampai 10 persen lah. Kalau dibawa ke MK mungkin enggak? Enggak bisa. Makanya satu-satunya cara supaya bisa masuk MK adalah dengan isu kecurangan TSM, terstruktur, sistematis, dan masif," komentar Arya Sinulingga yang adalah Juru bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf.
Eggy merasa dirinya dikriminalisasikan dengan aksi penangkapan terhadap dia. Sementara bukti-bukti yang dikumpulkan oleh kepolisian dinyatakan kuat. Oleh karena itu statusnya menjadi tersangka. Memangnya polisi tidak ada prosedur dalam melakukan penangkapan atau menetapkan sesorang menjadi tersangka?
Eggy ketika melakukan aksi protes di Bawaslu tempo lalu terbukti tidak mengikuti prosedur. Mengapa sekarang menggiring opini bahwa Kepolisian tidak profesional?