Lihat ke Halaman Asli

Lisa Oktafia

Mahasiswa Aktif UIN Sunan Ampel Surabaya Program Studi Pendidikan Islam Anak Usia Dini

Menjadi Sahabat Kecil Tuhan, "Membimbing Anak Usia Dini Menjelajahi Dunia Spiritual"

Diperbarui: 3 Desember 2024   21:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Anak usia dini mengalami masa keemasan yang unik dan tidak akan  terulang lagi. Ini adalah masa kritis di mana otak anak berkembang pesat dan sangat terbuka terhadap segala hal baru, terutama pengaruh dari lingkungan sekitarnya, termasuk pemahaman tentang agama. Pembentukan karakter anak, terutama nilai moral dan keimanan, dimulai dari kebiasaan sehari-hari. Anak-anak belajar untuk membedakan yang baik dan buruk, jujur, sopan, dan bertanggung jawab melalui contoh dan tuntunan dari lingkungannya.

Mengenalkan anak pada Tuhan sejak dini adalah langkah awal untuk menumbuhkan kesadaran akan asal-usul kehidupan dan segala ciptaan-Nya. Dengan begitu, anak akan memiliki landasan iman yang kuat. Tujuan utama mengajarkan agama pada anak sejak dini adalah untuk mengenalkan mereka pada Allah Subahanawataallah sebagai Sang Pencipta alam semesta. Oleh karena itu, peran orang tua sangat krusial dalam membentuk karakter anak sejak dini. Pembentukan karakter anak, terutama nilai moral dan keimanan, dimulai dari kebiasaan sehari-hari.

Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan kepada  anak usia dini bernama Hanifah telah menunjukkan perkembangan yang signifikan dalam pemahaman dasar agama Islam. Hanifah yang berusia 4 tahun, sudah mengikuti partisipasi aktif dalam kegiatan keagamaan disekolah dan  mengaji disetiap hari rabu. Dalam kegiatan yang sudah dilalui setiap harinya anak sudah bisa mengenali huruf-huruf hijaiyah, doa sehari-hari, surat-surat pendek meskipun belum dihafal semuanya. Anak sudah bisa mengikuti gerakan shalat, gerakan berwuduh meskipun belum sempurna. Dan anak sudah bisa mengucapkan kalimat tasbih (Subhanallah), tahmid (Alhamdulillah), takbir (Allahu Akbar), tahlil (Laa ilaaha illallah). Interaksi sosial anak dengan lingkungan sekolah dan mengaji cukup baik, bisa berbaur dengan teman-temannya.

Namun, didalam lingkungan keluarga, Hanifah kurang mendapatkan kesempatan untuk mempraktikkan atau menerapkan nilai-nilai agama yang telah dipelajarinya di sekolah dan tempat mengaji. Kesibukan orang tua dan perbedaan agama pengasuh menjadi kendala, sehingga kurang ada figur yang dapat menjadi contoh langsung dalam menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Albert Bandura Teori Belajar Sosial, teori ini menekankan pentingnya imitasi dan penguatan dalam perkembangan moral. Anak-anak belajar nilai-nilai moral dengan mengamati dan meniru perilaku orang dewasa di sekitar mereka. Teori belajar sosial Bandura memberikan pemahaman yang mendalam tentang bagaimana anak-anak belajar nilai-nilai moral dan agama. Peran orang tua sebagai model, pemberi penguatan, dan fasilitator kognitif sangat penting dalam proses ini. Dengan menerapkan prinsip-prinsip teori ini, orang tua dapat membantu anak-anak tumbuh menjadi individu yang bermoral dan berakhlak mulia. Namun, dalam kasus Hanifah ini, kesibukan orang tua menyebabkan waktu bersama anak menjadi terbatas. Selain itu, perbedaan agama pengasuh juga menjadi kendala dalam menanamkan nilai-nilai keagamaan. Akibatnya, perkembangan moral dan agama Hanifah di lingkungan keluarga menjadi terhambat. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk secara aktif mendukung perkembangan moral anak, meskipun waktu bersama terbatas. Hal ini dapat dilakukan dengan menjadi contoh yang baik, memberikan penguatan positif, dan mendemonstrasikan penerapan nilai-nilai agama.

Beberapa solusi untuk mengatasi masalah kurangnya penerapan nilai-nilai moral dan agama dilingkungan keluarga yang dialami oleh Hanifah, terutama pada orang tua yang sibuk dengan pekerjaan dan pengasuh yang berbeda agama. Meskipun sibuk, orang tua perlu meluangkan waktu khusus setiap hari untuk beribadah bersama anak, seperti sholat berjamaah atau membaca doa sebelum tidur. Orang tua dapat mengajak anak bermain bersama seperti bermain peran untuk mempraktikkan ibadah sholat atau membaca doa sehari-hari. Menciptakan suasana religius di rumah dengan memajang kaligrafi ayat-ayat pendek atau gambar-gambar yang berkaitan dengan agama. Orang tua bisa memberikan hadiah kecil sebagai bentuk apresiasi ketika anak berhasil melakukan ibadah atau menghafal doa baru. Dan mencari dukungan pengasuh, jika memungkinkan pertimbangkan untuk mencari pengasuh yang memiliki latar belakang agama yang sama atau setidaknya toleran terhadap agama lain. Orang tua dan pengasuh harus memberikan contoh yang baik dalam menjalankan ibadah dan berperilaku sesuai ajaran agama. Sehingga anak tidak hanya menerapkan nilai keagamaan dilingkungan sekolah dan tempat mengaji saja, tetapi mereka bisa menerapkannya dilingkungan keluarga dengan adanya dukungan dari orang tua dan orang disekitarnya.

Dapat disimpulkan bahwa untuk menumbuhkan anak menjadi pribadi yang beriman dan berakhlak mulia, diperlukan kerjasama yang baik antara orang tua, lingkungan sekolah, dan lingkungan sekitar. Orang tua perlu menjadi teladan yang baik, menciptakan lingkungan yang kondusif untuk anak belajar agama, dan memberikan dukungan penuh pada anak dalam menjalankan nilai-nilai agamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline