Lebaran dan situasi pandemi saat ini mengingatkan saya pada seorang perempuan muda yang pernah bekerja di rumah Ibu kami di Pati, Jawa Tengah hampir 10 tahun yang lalu.
Namanya Rini Kasmiati. Waktu bekerja di rumah kami, ia berusia 20an tahun. Ia anak perempuan satu-satunya dari 4 bersaudara, lahir dari Ibu yang menikah siri dengan ayahnya, seorang pegawai negeri sipil dan telah beristri. Mereka tinggal di rumah kecil berukuran 2x5 meter di tengah kota di Pati, Jawa Tengah. Di rumah berdinding anyaman bambu itu ditinggali Rini, Ibu dan 1 kakak laki-laki, yang lainnya pergi merantau mengadu nasib. Sang ayah telah meninggal dunia.
Keluarga ini tinggal dengan kondisi pas-pasan. Rumah yang waktu itu ditinggali merupakan sokongan dari aparat desa setempat setelah mereka pindah dari kota kabupaten tetangga, Jepara. Tambahan ubin dan juga dinding bersemen yang setengah atasnya masih berupa anyaman bambu, yang terlihat baru saja selesai dipasang merupakan sumbangan dari program pembangunan perkotaan yang disepakati oleh warga di Kelurahan mereka tinggal. Rumah keluarga Rini adalah salah satu penerima manfaatnya.
Ibu Rini berdagang di pasar, hasilnya tak seberapa. Ibunya pun tak bisa menikmati pensiun si Ayah karena status istri 'tak resmi' sesuai perundang-undangan yang berlaku. Hak pensiun adalah hak legal istri pertama. Rini juga tak sampai menyelesaikan pendidikan tingkat pertamanya/SMP.
Ia akhirnya bekerja. Mulai dari menjadi buruh di sebuah perusahaan kayu ukir Jepara sampai menjadi Pekerja Rumah Tangga (PRT) di keluarga keturunan Arab di kota Pati. Setelah 2 tahun bekerja penuh waktu dan tinggal di rumah majikannya ia memutuskan untuk keluar karena selisih paham dengan kawan yang bekerja sebagai baby sitter di rumah majikannya tersebut. Disamping karena ia ingin lebih punya banyak waktu menemani ibunya yang mulai sakit-sakitan. Sampai akhirnya ia bekerja di rumah Ibu saya.
Cara bekerjanya professional. Dengan mengayuh sepeda Jengki (sebutan dalam bahasa Jawa sepeda untuk orang dewasa) ia selalu datang tepat waktu jam 7 pagi. Pulang kembali ke rumah sore hari jam 4. Ia mengerjakan seluruh pekerjaan rumah. Ibu saya memberi petunjuk satu kali, seterusnya ia bekerja dengan inisiatif sendiri dengan hasil memuaskan.
Sikapnya sopan, ramah dan terbuka. Tak pernah ada keluhan atas kesulitan hidupnya, semuanya diceritakan dengan apa adanya dengan senyum selalu menghiasi wajahnya. Kecerdasannya terpancar dari caranya bertutur yang terdengar dewasa melebihi dari umurnya. Keinginan belajarnya tinggi terlihat dari kesempatan yang tak pernah dilewatkan untuk membaca terutama koran yang tersedia di rumah.
Bahkan 2 novel: Laskar Pelangi dan Ayat-ayat Cinta lahap dibacanya dalam waktu singkat sambil menunggu toko kecil di rumah Ibu kami. Waktu itu saya turut memikirkan sejumlah rencana untuknya, salah satunya memberi tambahan kursus untuk keahlian tertentu atau mengikutsertakannya dalam ujian persamaan sekolah tingkat pertama dan tingkat atas.
Namun rencana itu tinggal-lah rencana. Rini memutuskan untuk mengubah nasibnya dengan menjadi tenaga kerja ke luar negeri di tanah Arab, tepatnya Saudi Arabia. Tentu tidak ada yang salah karena itu adalah haknya, saya waktu itu seperti menyesalkan mengapa ia dengan segala potensinya? Walaupun pergi merantau mungkin adalah salah satu cara untuk mengubah nasib lebih baik. Seperti saya yang kemudian bekerja dan menetap di pinggiran ibu kota.
Rasa menyesalkan yang datang itu lebih pada potensi ketidakamanan yang lebih kuat muncul daripada kesempatan untuk nasib yang lebih baik tadi. Begitu juga yang dikhawatirkan oleh Ibu Rini dan tetangga dekatnya dengan keputusannya untuk pergi itu. Yang kuat muncul adalah kekhawatiran penuh prasangka tentang citra orang Arab yang masih percaya bahwa pekerja di dalam rumahnya (khadam) berhak diperlakukan sebagai budak/amat. Artinya majikan sangat berpotensi untuk memperlakukannya dengan sesuka hati, belum lagi resiko kekerasan dan pelecehan seksual yang kerap kita dengar.
Tentu tidak bermaksud memukul rata, namun harus diakui banyak kasus kekerasan terhadap buruh migran Indonesia terutama di Saudi Arabia tak bisa diproses lebih lanjut karena situasi sosial budaya yang sangat tertutup: perempuan masih tidak diperkenankan keluar rumah, dan tembok rumah yang tinggi dengan pintu rapat terkunci, gerak langkah begitu terbatas. Sudah banyak cerita kita dengar soal ini. Sampai saat ini kemajuan belum berarti untuk memberi jaminan perlindungan untuk tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Saudi Arabia salah satunya dengan menyediakan Memorandum of Understanding (MoU) antar negara.
Dengan kenyataan yang sering terdengar berat, tetap saja banyak tenaga kerja perempuan kita berbondong-bondong datang ke tanah harapan di beberapa negara Arab salah satunya Saudi Arabia. Saudi masih masuk dalam 10 besar negara tujuan tenaga kerja Indonesia bahkan mungkin sepuluh tahun terakhir. Tahun 2020 ini berada di urutan kelima setelah Singapura dan Hongkong.