Max Weber (1993), ahli sosiologi dari Jerman menggambarkan agama sebagai bentuk spesifik dari tindakan komunitas yang dianggap rasional, karena agama dibangun berdasarkan aturan-aturan tertentu dimana komunitas belajar dari pengalaman. Emile Durkheim menekankan peran dari agama di masyarakat untuk menterjemahkan tindakan dan perubahan sosial yang menurut mereka masuk akal.
Ahli Antropologi, J.R Bowen (1998) menggambarkan agama lebih kompleks karena meliputi (1) kepercayaan termasuk kepercayaan yang authoritative (seperti misalnya doktrin), (2) praktek ibadah termasuk ritual yang diformalkan, dan (3) institusi sosial. Agama dan keberagamaan sangat tergantung dari kondisi dan transformasi sosial di masyarakat tersebut dan begitu sebaliknya.
Memahami beberapa kejadian intoleransi terutama menjelang perayaan Natal, yang rasa-rasanya seperti rutinitas tahunan, dapat dipahami terjadi dalam konteks dan dimana kejadian tersebut berlangsung. Tentu kita mesti khawatir sebab tindakan yang dilakukan dianggap rasional. Padahal jelas tidak.
Sebab kita mendengar, menyaksikan banyak daerah di Indonesia dengan praktek toleransi sangat tinggi. Beragama yang lebih rileks, menyenangkan dan memanusiakan. Menghargai perbedaan tanpa harus mengancam atau terancam. Sebagaimana gambaran yang saya temui ketika berkesempatan berkunjung ke wilayah timur Indonesia.
Di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), saya pernah menjumpai kampung adat yang dipimpin oleh seorang muallaf. Ia belum setahun masuk Islam karena pertemuan dengan seorang guru. Masyarakat yang dipimpinnya sebagian besar memeluk agama Katolik. Warga yang dipimpinnya sama sekali tidak masalah. Setiap kali pesta adat berlangsung, ada makanan yang dipisah, antara daging/mengandung babi dan tidak. Praktek pemisahan makanan pun sudah berlangsung sejak ada pemeluk agama Islam ada di wilayah NTT.
Di Papua dan Papua Barat. Saya mengenal beberapa keluarga dengan pemeluk agama beragam. Salah satunya Mama Nola, sebut saja namanya demikian, punya enam orang anak. Empat laki-laki. Dua perempuan. Salah satu anak laki-lakinya beragama Muslim karena kehendaknya sendiri. Setiap perayaan keagamaan baik Islam maupun Kristen semua anggota keluarga merayakannya. Bahkan Mama Nola mengantarkan anaknya sampai Jakarta ketika anak laki-lakinya tersebut menunaikan ibadah haji.
Beberapa tokoh muslim Papua yang saya kenal pun demikian. Anggota keluarga dekat mereka banyak yang memeluk Kristen. Mereka saling menghormati. Bahkan mendukung satu sama lain. Yang paling terasa jika hari raya masing-masing agama tiba. Saling memberi selamat. Tidak ada sekat. Persaudaraan begitu kental dan di atas segalanya.
Waktu saya bertanya pada Mama Nola, mengapa bisa menerima anaknya memilih jalan berbeda, ia menjawab urusan keimanan adalah urusan pribadi masing-masing. Yang paling terpenting ia menjadi dan membawa berkat bagi sesama. Karena agama adalah urusan pribadi, urusan kamu dan Tuhan-mu yang kamu percaya. Jawaban yang begitu terdengar sangat dewasa dan melintasi urusan doktrin kebenaran tunnggal agama.
Di Papua, tentu pernah ada beberapa kisah ketegangan yang dipicu oleh persoalan agama. Namun hubungan mereka seperti memiliki fondasi dan akar yang kuat tak sampai pecah seperti yang terjadi contohnya konflik di Ambon tahun 1999. Studi dan kisah tentang bagaimana hubungan seperti ini kuat terjalin mesti lebih banyak dituliskan dan diperdengarkan agar kita lebih banyak belajar dari pengalaman kehidupan beragama yang berjalan.
Salah satunya yang dituliskan oleh Syarifuddin R. Gomang (2007) yang melakukan studi tentang Perserikatan Muslim dan Kristen: 'Hubungan Keluarga antara masyarakat di Pedalaman dan Kawasan Pantai pada Komunitas Belagar di Indonesia Timur.
Di Komunitas Belahar, Pulau Pantar, NTT, hubungan antara kelompok Kristen di pedalaman dan Muslim di Kawasan pantai dijaga oleh hubungan persaudaraan yang disebut dalam bahas lokal ia mutu lol 'tela wala. Masyarakat di wilayah tetangga, pulau Alor juga mengekspresikan hubungan yang sama sebagai kakari wato watang, yang artinya hubungan persaudaraan antara masyarakat di pedalaman dan kawasan pantai. Mereka juga memiliki semacam janji bersama yang disebut bela raja.