Lihat ke Halaman Asli

DPR Pecah, Indonesia Belum Siap Berdemokrasi?

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang digerakkan oleh PDI-P membuat ulah lagi. Terpilihnya pimpinan komisi dan alat kelengkapan DPR dari Koalisi Merah Putih (KMP) membuat KIH gerah. KIH merupakan koalisi yang pada pilpres lalu mendukung calon pasangan Jokowi – JK yang kini telah dilantik sebagai Presiden & Wakil Presiden Republik Indonesia dan PDI-P merupakan partai pemenang pemilu legislatif 2014 lalu dengan persentase sebesar 18,95%.

Suasana rapat paripurna ke-7 yang ricuh pada 28 Oktober lalu, mendorong KIH untuk membuat mosi tidak percaya dan pengajuan nama pimpinan DPR yang baru dengan landasan tidak cakapnya Setya Novanto yang notabenenya berasal dari Koalisi Merah Putih (Golkar) dalam memimpin persidangan. Sikap KIH tersebut adalah respon atas dominasi KMP di Parlemen. Perkelahian dua kubu koalisi tersebut terkesan masih mengedepankan kepentingan kelompok dan golongan serta mengabaikan kepentingan rakyat yang mereka wakili. Parlemen terbelah dan kedua pihak masih bersitegang.

Yusril Ihza Mahendra mengatakan, “kondisi tak akan menjadi lebih baik jika eksekutif dan legislatif hanya dikuasai satu golongan saja. Kekuasaan harus berbagi secara adil dan berimbang. Semua harus diberi kesempatan untuk memimpin lembaga-lembaga negara secara proporsional.”

Dampak negatif juga muncul dari dualisme kepemimpinan seperti ini. Menurut Refly Harun seperti yang dilansir dari detik.com, selain menjadi dilema pada pemerintahan Jokowi – JK, efek lainnya adalah kinerja DPR yang akan berjalan pincang terkait keputusan fungsi legislasi, pengawasan & anggaran.

Bagi negara demokrasi seperti Indonesia hal ini sebenarnya adalah hal yang wajar terjadi. Pada era pemerintahan SBY – JK tahun 2004, hal serupa juga pernah terjadi. Pada saat itu, Koalisi Kebangsaan yang mengusung Mega – Hasyim dikalahkan oleh SBY – JK, namun tak ingin berdiam diri mereka berjuang sampai akhirnya menguasai parlemen. Tidak seperti Koalisi Indonesia Hebat sekarang ini, Koalisi Kerakyatan yang berhasil memenangkan SBY – JK sebagai Presiden & Wakil Presiden RI menerima dengan legowo dan tidak membentuk pimpinan tandingan. Meskipun kekuatan pendukung SBY – JK kecil di parlemen dan seringkali kebijakannya ditolak DPR, mereka tetap bisa menjalankan pemerintahan.

Kalau kita bandingkan demokrasi di Indonesia dengan demokrasi yang berjalan di Amerika Serikat, sedikit banyaknya kita akan menemui kemiripan. Presiden Amerika Serikat, Barrack Obama berhasil menjadi Presiden Amerika Serikat dengan dukungan Partai Demokrat. Ia juga menghadapi persoalan yang serupa dengan Indonesia saat ini. Partai Demokrat berhasil memenangkan Obama menjadi Presiden, namun parlemen dikuasai oleh Partai Republik. Bedanya atmosfer demokrasi di Amerika Serikat berbeda dengan seperti yang terjadi di Indonesia. Jika kebijakan Presiden Obama baik tentu akan didukung oleh Partai Republik, seperti Obama Care contohnya. UU tersebut didukung Partai Republik yang duduk di parlemen karena memang UU tersebut bagus untuk rakyat, sesuai dengan kebutuhan konstituen. Ketika duduk di parlemen, mereka sudah tidak lagi mewakili kepentingan kelompok / partainya, tetapi mereka mewakili rakyat.

Sebagai contoh, meningkatkan pembangunan infrastruktur seperti pelabuhan, bandara di wilayah Indonesia Timur. Apakah anggota DPR yang berasal dari Indonesia bagian Timur akan menolak kebijakan tersebut hanya karena ketua fraksi dari partainya merupakan oposisi pemerintahan?

Mengingat partai politik di Indonesia masih dikuasai oleh segelintir pemilik modal dan penguasa. Seperti PDI-P dengan ketua umum Megawati, Partai Demokrat dengan ketua umum SBY. Hal tersebut diakibatkan oleh sistem pemerintahan kita yang masih berbau feodalistik. Apalagi kini hak suara individu anggota DPR dihilangkan dan diganti dengan hak suara fraksi, yang artinya anggota harus mengikuti fraksi dan fraksi harus mengikuti arah koalisi. Sistem pemilu kita adalah proporsional terbuka dengan pertanggungjawaban ke konstituen dibanding partai. Menurut Yunarto Wijaya, mungkin di UU MD3 yang baru harus ada wacana untuk membubarkan fraksi.

Melihat hal tersebut mental demokrasi di Indonesia ternyata belum matang. Dan yang paling menyedihkan adalah rakyat yang akan menjadi korban dari perseteruan dua kubu yang bertentangan ini. Koalisi Indonesia Hebat harusnya terima kekalahannya. Kalah di parlemen bukan berarti akhir dari perjuangannya mengatasnamakan rakyat. Rakyat tidak sepatutnya dijadikan kambing hitam atas kisruh politik yang terjadi di parlemen, terlebih lagi kinerja DPR yang nantinya akan menemui jalan buntu akan berujung pada penderitaan bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline