Stunting atau biasa dikenal sebagai kekurangan gizi kronis adalah masalah gizi balita yang dihadapi baik dalam lingkup nasional maupun internasional, yang terjadi apabila kekurangan asupan gizi dari makanan yang cukup lama.
Hal ini dapat berdampak pada pertumbuhan balita, di antaranya adalah mengganggu pertumbuhan tinggi dan berat badan, sehingga balita cenderung lebih pendek dengan berat badan yang jauh di bawah rata-rata anak seusianya, tumbuh kembang yang tidak optimal, Sehingga, keterlambatan berjalan pada anak atau penurunan kemampuan motorik yang dapat berpengaruh terhadap kapasitas belajar anak.
Kondisi stunting, dapat menyebabkan penurunan tingkat kecerdasan (IQ) pada anak yang bersangkutan, menjadikannya lebih rendah daripada teman sebaya dalam kelompok usianya.
Pada tahun 2017, sekitar 22% dari total balita di dunia mengalami stunting, atau sekitar 150.800.000 balita. Berdasarkan laporan dari World Health Organization (WHO), Indonesia menempati peringkat ketiga di kawasan Asia Tenggara, dengan tingkat prevalensi stunting rata-rata mencapai 36,4% dalam rentang waktu 2005 hingga 2017.
Data Pemantauan Status Gizi Tahun 2015--2017 di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi stunting pada balita mencapai 22% (Kemenkes, 2018). Oleh karena itu, diharapkan pihak-pihak terkait, termasuk pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat umum, dapat bekerja sama untuk mengatasi stunting dan meningkatkan kesejahteraan anak-anak di Indonesia.
Status gizi pada ibu menjadi salah satu penyebab yang paling signifikan dalam memengaruhi kejadian stunting pada balita, seperti terjadi pada kasus Berat Badan Lahir Rendah (BBLR).
Jika seorang ibu mengalami Kekurangan Energi Kronis (KEK) selama masa kehamilan, hal ini dapat menyebabkan kurangnya asupan gizi yang optimal bagi janin, yang pada gilirannya akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan janin.
Pengukuran Lingkar Lengan Atas (LILA), bersamaan dengan peningkatan berat badan selama kehamilan, dianggap sebagai faktor kunci yang dapat berpengaruh terhadap berat badan bayi pada saat kelahiran. Jika kondisi ini berlanjut dengan pemberian makanan yang tidak memadai, rentan terhadap infeksi berulang, dan kurangnya perawatan kesehatan yang memadai, maka dapat mengakibatkan terjadinya stunting pada anak.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Amanda (2023), ditemukan bahwa balita yang mengalami Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) memiliki dampak yang signifikan terhadap tingkat kejadian stunting.
Rentang nilai antara 13,16 hingga 18,20 untuk BBLR diidentifikasi sebagai faktor yang paling dominan dalam kasus anak-anak yang baru saja mengalami stunting. BBLR ini disebabkan oleh kekurangan gizi kronis bahkan sebelum masa. Amima (2018) mendukung penelitian ini, di mana kelompok kasus menunjukkan bahwa 41% dari ibu hamil tergolong dalam kategori Kekurangan Energi Kronis (KEK), sementara itu, pada kelompok kontrol, proporsi tersebut hanya mencapai 9,1%.
Melalui analisis hubungan antara Lingkar Lengan Atas (LILA) dan kejadian Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), hasil uji menunjukkan nilai signifikansi sebesar p=0,018. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ibu yang mengalami Kekurangan Energi Kronis (KEK) dengan nilai kurang dari 23,5 memiliki risiko 6,6 kali lebih tinggi untuk mengalami BBLR. Hal ini sesuai dengan pandangan Ohlsson dan Shah (2008), ibu yang mengalami KEK berpotensi mengalami defisiensi energi dalam jangka waktu yang berkepanjangan, bahkan sebelum memasuki masa kehamilan.