“Setiap tahunnya, Gunung Anak Krakatau (GAK) mengalami pertambahan ketinggian antara empat hingga enam meter. Aktivitas GAK ini diperkirakan akan mengalami peningkatan hingga tahun 2058 nanti”, jelas Mbak Dian Novita, salah satu staf Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Lampung. Sabtu pagi, tanggal 27 Agustus 2016 lalu kami berada satu kapal saat mengikuti Festival Jelajah Krakatau 2016. Uniknya, acara Jelajah Krakatau yang notabene merupakan bagian dari Lampung Krakatau Festival 2016 ini bertepatan dengan peringatan 133 tahun meletusnya Gunung Krakatau.
Dahsyatnya dampak letusan Gunung Krakatau menjadi sebuah catatan sejarah yang tak lekang dimakan jaman. Pasalnya selain mengubah “wajah” Indonesia, dampak letusan gunung yang beristirahat sekitar 200 tahun ini juga mampu mengubah “wajah dunia”. Konon hanya dalam waktu 22 jam saja, letusan Gunung Krakatau mampu mengakibatkan kegelapan hingga radius 200 km. Dampak letusan gunung yang beristirahat sejak tahun 1681 ini juga menyebabkan tsunami di kawasan Merak. Selain itu, dahsyatnya letusan Gunung Krakatau juga mengakibatkan hujan abu hingga ke Pantai Barat Australia dan Semenanjung Afrika.
Pada akhirnya, cerita Mbak Dian ini pun mencolek ingatan saya akan peristiwa meletusnya Gunung Merapi di tahun 2010 lalu. Pasalnya di tahun yang sama, saya sedang melakukan pengambilan data penelitian untuk tugas akhir kuliah di Balai Pengembangan Teknologi Kelautan dan Perikanan (BPTPB) Cangkringan, yang notabene berada tidak jauh dari kawasan Gunung Merapi. Meski rumah saya berada di Bantul, namun ledakan-ledakan yang terjadi di Gunung Merapi terdengar sampai kamar. Tahu-tahu, di suatu pagi yang cukup cerah, saya dikagetkan dengan lapisan berwarna abu-abu yang menutupi semua benda di luar rumah, termasuk pohon pisang di pekarangan. Ternyata abu Merapi sampai di Bantul, juga beberapa kota di sekitarnya.
Dan ternyata, selain berada di kawasan ring of fire, Indonesia juga berada diantara pertemuan-pertemuan lempeng bumi yang masih aktif bergerak seperti lempeng Eurasia dan dan lempeng Hindia-Australia. Karena itulah selain memiliki banyak gunung berapi yang masih aktif, beberapa kawasan di Indonesia juga masuk dalam kawasan rawan gempa dan tsunami. Bantul misalnya. Sepuluh tahun silam, kabupaten tempat saya bermukim ini menjadi pusat gempa berskala 5,9 skala Richter yang melanda Jogja. Hingga saat ini, bukan hanya gempanya saja yang masih lekat di ingatan, namun malam pertama usai bencana gempa waktu itu memberi banyak pelajaran pada saya dan keluarga, utamanya yang berkaitan dengan edukasi kebencanaan.
Belajar dari Gempa Jogja 2006
Selain rasa trauma yang cukup melekat, suasana malam pertama usai gempa terasa begitu mencekam. Usai bergotong royong mendirikan tenda dan berjibaku di dapur umum, rasa-rasanya malam itu tak ada aktivitas lain di pengungsian selain berdoa dan berusaha untuk tetap waspada. Pasalnya di tengah pengungsian yang gelap gulita, gempa susulan masih terjadi berkali-kali. Di saat segenting itu, kami hanya dapat memantau situasi di luar posko pengungsian melalui radio bertenaga baterai yang berhasil ditemukan warga usai gempa. Mungkin karena begitu memorable, hingga saat ini bapak saya masih ingat nama stasiun radio lokal yang waktu itu kami dengarkan hingga berminggu-minggu lamanya!
Berdasarkan pengalaman di atas, saya sangat mengapresiasi gebrakan baru Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Republik Indonesia dalam mensosialisasikan berbagai informasi penting terkait antisipasi dan penanggulangan bencana melalui radio. Menariknya, sosialisasi kali ini dilakuka dengan pendekatan berbeda karena disiarkan melalui sebuah drama radio bertajuk “Asmara di Tengah Bencana”. Drama radio tentu bukanlah hal baru lagi bagi masyarakat Indonesia. Pasalnya drama radio merupakan jenis hiburan yang pernah hits di era 90-an. Dengan berbagai pendekatan yang disesuaikan dengan perkembangan jaman, drama radio ini diharapkan dapat menjadi media edukasi yang mudah dicerna masyarakat.
Menariknya, selain mengangkat kisah cinta yang lekat dengan kehidupan sehari-hari, nuansa drama yang dipilih ternyata menawarkan nilai histori yang tinggi. Drama radio bertajuk “Asmara di Tengah Bencana” ini mengangkat cinta antara kisah cinta Raditya dan Sekar Kinanti di era Kerajaan Mataram. Dibalik alur cerita cinta yang menderu-debu, diselipkan berbagai informasi penting terkait antisipasi bencana. Misalnya saja pemaparan tanda-tanda gunung yang akan meletus yang nyatanya dapat dibaca oleh pemangku adat yang ada. Karena itulah sebelum peristiwa gunung meletus terjadi, warga desa berhasil diungsikan di tempat yang lebih aman.
Entah mengapa, drama ini kembali mengingatkan saya pada peristiwa meletusnya Gunung Merapi yang terjadi pada tahun 2010 yang lalu. Saat itu ada teman baru dari Lampung yang sedang mengambil data penelitian di BPTPB Cangkringan. Beberapa hari setelah meletusnya Gunung Merapi terjadi, kami sempat bertemu dan saling bertukar cerita.
“Waktu itu siang harinya agak gelap Mbak, kayak udah senja gitu lho! Serem deh!”, ungkapnya memulai cerita.
“Lah, kok kamu masih di sini?! Nggak turun?”, jawab saya dengan nada suara agak tinggi.