Meski terkadang kerap menimbulkan trauma, namun selalu ada pembelajaran yang dapat diambil dari setiap musibah atau bencana yang melanda, tidak terkecuali dengan gempa Jogja di tahun 2006 silam.
Saya ingat betul pagi itu saya hendak pergi ke rental komputer untuk mengerjakan tugas kuliah. Maklum, saat itu saya belum memiliki komputer pribadi. Jadi kalau ada tugas yang harus diketik, bersepedalah saya menuju rentalan komputer terdekat yang berjarak sekitar 2 km dari rumah.
Usai sarapan rencananya saya akan bersepeda menuju rentalan. Sayangnya sesaat setelah menghampiri meja makan untuk sarapan, tembok di rumah mulai terasa goyang.
Awalnya hanya pelan, namun beberapa saat kemudian gempa terasa jauh lebih kuat. Gempa kali ini terasa berbeda. Bukan hanya karena skalanya saja yang terasa begitu kuat, namun dampaknya juga langsung terlihat mata.
Banyak rumah di sekitar tempat tinggal saya yang ambruk, tidak terkecuali dengan rumah simbah yang notabene baru saja direnovasi. Belum lagi korban jiwa ataupun harta benda yang terjadi akibat gempa. Dari bencana ini, saya ingin berbagi cerita terkait keamanan berinvestasi.
Belajar Investasi dari Simbah Putri
Bagi sebagian orang yang tinggal di lingkungan pedesaan mungkin belum terlalu familiar dengan istilah investasi. Menariknya, simbah putri saya yang notabene tidak mengenyam pendidikan tahu soal investasi.
Kesadaran investasi tersebut mungkin tidak lepas dari banyaknya buah hati yang dikaruniakan ke pasangan kakek dan nenek saya. Ya meskipun simbah tidak menyebutnya sebagai investasi, melainkan celengan alias tabungan. Menariknya, tabungan simbah ini tidak berbentuk uang, melainkan tanah dan emas.
Suatu hari simbah pernah bercerita bahwa ia berhasil memiliki beberapa petak sawah yang dibeli dari hasil tabungan dan hutang. Saya sedikit tercengang saat mendengar cerita ini.
Satu hal yang mungkin tidak terpikirkan oleh banyak orang di dekade 80-an. Apalagi untuk orang yang tidak mengenyam pendidikan tinggi seperti simbah puteri dan almarhum simbah kakung saya. Dahulu, almarhum simbah kakung hanya bekerja sebagai pegawai admistrasi, sedangkan simbah puteri hanya berjualan beras di pasar.
“Rego lemah kan ora bakal medun to nok. Simbah pengen iso ninggali lemah dinggo anak”, begitu ceritanya ketika saya tanya.