Andai ruang publik bisa menyapa, dalam benak saya sapaan seperti inilah yang mungkin akan kerap dilontarkan, “Non, jadi datang ke sini kan?”. Namun sebaliknya, jika ada banyak generasi muda atau bahkan eksekutif muda Indonesia yang akhirnya jatuh hati untuk berdiskusi di beragam ruang publik tersebar di berbagai sudut nuantara, sudah siapkah “dia”? "Dia", si ruang publik itu sendiri.
[Peringatan HDD 2010, Solo (ada di kamera pribadi)]
Hari Habitat Dunia (HDD) merupakan wujud kepedulian terhadap pemenuhan kebutuhan perumahan dan pemukiman yang layak untuk semua lapisan masyarakat (Buku Panduan Hari Habitat Nasional 2015). Setiap tahunnya peringatan HDD sendiri jatuh pada hari Senin di minggu pertama bulan Oktober. Tahun ini peringatan HDD jatuh pada Senin, 5 Oktober 2015 yang mengambil tema "Public Spaces for All". Karena saya tinggal di Jogja, saya akan bercerita beberapa ruang publik yang ada di kota cantik ini.
Jika saya merasa mulai merasa terkungkung dengan beragam aktivitas harian, maka pesan di atas seolah-olah mampir dengan sendirinya ke benak saya. Bagi saya pribadi, ruang publik terdeskripsikan sebagai tempat yang dapat diakses dengan mudah oleh siapa pun, baik warga lokal ataupun wisatawan yang sedang menikmati liburan. Sebagai warga Jogja, saya memiliki beberapa sarana pilihan menikmati ruang publik yang tersedia. Cerita dimulai dari ruang publik yang bebas biaya masuk dulu ya. Jika saya sedang ingin berolahraga, Jogja menawarkan beberapa opsi ruang publik yang cukup menarik. Alun-alun Kidul salah satunya. Kata kidul sendiri diambil dari bahasa Jawa yang berarti selatan. Karena hal inilah Alun-alun Kidul dikenal pula dengan nama Alun-alun Selatan Jogja.
[Alun-Alun Kidul (dokumentasi pribadi, 2015]
Tempat ini cukup ramai dikunjungi warga, baik di pagi, sore ataupun di malam hari. Di pagi dan sore hari, Alun-alun Kidul menjelma menjadi tempat olahraga massal. Berbeda dengan ruang publik lainnya, Alun-alun Kidul seolah memiliki daya tarik tersendiri, baik bagi warga Jogja ataupun wisatawan yang sedang berkunjung ke kota cantik ini. Salah satunya alasannya tidak lain karena ingin mencoba aktivitas unik bernama Masangin.
[Masangin di Alun-alun Kidul Jogja (dokumentasi pribadi, 2015)]
Masangin merupakan salah satu aktivitas turun-temurun yang begitu populer di Jogja. Sejatinya Masangin dilakukan digunakan untuk mengasah fokus seseorang. Meski demikian, aktivitas unik ini tumbuh menjadi urband legend yang tidak lekang dimakan jaman. Konon katanya, siapa saja yang mampu melewati area diantara dua pohon beringin di Alun-alun Kidul, maka harapan orang tersebut dapat terwujud. Untuk mencobanya, Anda hanya memerlukan penutup mata saja. Jika tidak membawanya, Anda dapat menyewa penutup mata dengan harga Rp 5.000 saja. Permainan ini dimulai dari ujung utara alun-alun, tepatnya berada di diantara dua pohon beringin. Selanjutnya Anda cukup berjalan ke arah selatan dengan mata tertutup. Meski terkesan sepele, namun tidak jarang orang akan berjalan ke arah timur ataupun barat. Kalau tidak percaya, Anda dapat mencobanya saat berkesempatan berkunjung ke Jogja.
Bagi saya kegiatan ini terbilang cukup menarik. Dimana ruang publik mampu menjelma sebagai perantara lestarinya sebuah urband legend yang sekaligus mampu menjadi daya tarik wisata yang begitu kental dengan nuansa Jogja. Sebuah simbiosis mutualisme yang begitu baik. Di satu sisi melestarikan sebuah tradisi, di sisi lain berguna menjauhkan pergeseran fungsi yang bisa saja terjadi pada ruang publik itu sendiri. Selain di Alun-alun Kidul, masih ada beberapa ruang publik lain di Jogja yang bisa digunakan untuk berolahraga. Area di sekitar Gedung Grha Sabha Pramana (GSP) misalnya. GSP merupakan sebuah gedung serbaguna yang berada di kompleks kampus Universitas Gadjah Mada (UGM).