Lihat ke Halaman Asli

Lipul El Pupaka

lagi malas malasnya

Puisi | Cengkrama Debu

Diperbarui: 16 November 2018   10:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri/lipul.id

Sebesar apa tanda titik yang menghentikan tanda tanya. Sekokoh apa tanda seru yang menegaskan atas pilihan. Dan sejelas apa ukiran pena agar ia tak memudarkan harapan.

Dinihari, detak jarum jam dan gemericik kidung sungai saling sapa. Seakan mengajak berandai-andai dalam berkehidupan. Aku, bersama hembusan nafas bercampur asap setia bercengkrama dengan sanubari yang penuh gelora tanya. Sambil sesekali kuselami alam pikiran dan mengajak mengeja langkah yang mulai sengal.

Dinihari,
Sinar redup bulan terpancar kemerahan di atas tubuh sungai. Ia dengan indah menuntun mata untuk tetap terjaga. Sembari sesekali mengajak menatapi dua wajah kuat yang mulai ringkih. Menghitung krida baiknya meski hal itu tak pernah dapat di hitung. Serta mengingat budi baik dan perjuangannya yang tak akan pernah terbayar dengan apa yang sudah aku berikan.

Dinihari bersama bulan bercengkrama dengan sanubari.
Aku adalah debu bila tanpa mereka. Aku debu.
Aku adalah debu.

Ah. Tangan tanpa sadar mengusap muka, menyeka airmata.
"aku tak kuat bila menatapi dua wajah yang terpejam itu lama-lama, aku tak kuasa... ", duhai Sinar Bulan.

Dinihari. Bulan, tolong jaga lelap tidur mereka setiap malam. Dan esoknya, selalu sampaikan pada mentari, agar ia tak lupa membuat kedua wajah hebat itu tersenyum bangga.

Dinihari, bulan;
Aku adalah debu bila tanpa mereka

Aku debu.
...
Pulau Kidak, Sumatra Selatan, 10/07/18




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline