Lihat ke Halaman Asli

Manusia Vs Vampire Vs Shift Shaper

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Setelah hampir dua minggu membaca buku jadul untuk kategori remaja The Twilight Saga sebanyak empat seri dengan ketebalan buku yang membuat kurang nyaman pada saat memegang buku tersebut, terutama buku keempat yang sangat-sangat tebal, saya kagum dengan daya khayal (entah ini fiksi atau memang sebenarnya ada?) si penulis sehingga buku-buku ini menjadi best seller dan film layar lebarnya ditunggu banyak orang.

Basi kayanya kalau saya membahas cerita Twilight Series hari gini. Saya hanya terkesan dengan tokoh-tokoh yang diceritakan oleh Stephenie Meyer dalam buku ini.

Setiap perempuan tentu kepingin seperti Bella Swan, bisa dicintai oleh dua pria tampan yang kedua-duanya dengan rela melakukan apa saja untuk keselamatan dan kebahagiaan Bella. Demikian pula dengan Edward Cullen, yang digambarkan begitu sempurna di mata Bella, yang amat sangat mencintai Bella dan tidak sanggup hidup (maksudnya hidup sebagai vampire) tanpa Bella di sampingnya, dan itu sudah dibuktikan dengan keinginan mengakhiri perjalanan hidup immortal nya ketika tahu Bella dinyatakan “meninggal”. Tak ketinggalan pula dengan Jacob Black, dengan gagah berani meninggalkan “kawanannya”, menentang “Alfa” sang pemimpin, bahkan mengkhianati sukunya demi seorang Bella yang juga dicintainya.

Bagaimana dengan Bella? Wuiih…, saya tidak melihat kesombongan dalam diri Bella. Dicintai dua pria! Menempatkan cinta pada porsinya yang tepat, melindungi dan mengkhawatirkan kehidupan mereka. Mencintai kedua pria tersebut dengan caranya sendiri, tapi sangat dimaklumi oleh kedua pria yang dicintai. Salut saya!

Ada lagi hal lain di luar kisah tiga anak muda tersebut, bahwa kelompok vampire dan shift shaper itu ternyata sangat-sangat peduli dengan kehidupan manusia dan lingkungan. Tidak mau ada manusia yang menjadi korban vampire, bahkan “serigala-serigala” yang melindungi manusia dari serangan vampire liar saja nyaris menjadi korban ketakutan manusia dan nyaris diburu oleh pemburu binatang. Para vampire mencari binatang-binatang liar untuk menyiasati “kehausan” mereka, bukan dengan membunuh binatang peliharaan atau satwa lindung.

Lantas apa yang terjadi pada manusia sekarang ini?

Manusia yang selalu menyatakan dirinya adalah mahluk paling mulia, berbudi, berahlak, dll yang paling bagus dari semua ciptaan Sang Pencipta, tapi justru menjadi mahluk yang paling kejam, beringas, tega untuk menghadapi mahluk sesamanya yaitu manusia lain.

Dalam menghadapi manusia lain yang berbeda prinsip atau keyakinan selalu dengan kekerasan, baik itu bersuara keras dan teriak-teriak atau dengan kekerasan phisik dibantu dengan alat-alat keras lain. Ada rasa bangga kalau apa yang dilakukannya itu bisa membuat manusia lain tunggang langgang, bahkan ada kebanggaan lain lagi kalau sampai disorot oleh media tv dan diwawancarai oleh presenter cantik, plus ditonton penduduk Indonesia!

Belum lagi kekerasan dalam rumah tangga. Ayah aniaya anak bayi, ayah tiri cabuli anak tirinya, ibu bunuh anak kandungnya, racuni anak kandung, pasung orang tua atau anaknya. Wah …., gak keitung deh banyaknya kasus kekerasan manusia lawan manusia.

Saya bandingkan lagi dengan cerita fiksi di Twilight Series, bagaimana keluarga Cullen mengumpulkan teman-temannya untuk menghadapi kelompok Volturi dan pengawalnya yang ingin menghabisi keluarga mereka. Anggota keluarga Cullen hanya meminta pada teman-temannya sebagai saksi atas kehidupan mereka dan kehidupan seorang anak, bukan untuk bertempur dan saling bunuh-bunuhan. Kelompok Volturi dan pengawalnya juga melakukan dialog dengan keluarga Cullen, dan masing-masing saling menahan ego untuk saling menyerang. Bagaimana Aro berdialog dengan Carlisle dan anggota yang lain walaupun saling menggeram tapi tidak terjadi pertumpahan darah, bahkan sang provokator dibereskan terlebih dahulu, karena membuat kedua kubu salah paham, diceritakan dengan menarik di buku keempat.

Rupanya manusia memang harus banyak belajar dialog dari mahluk-mahluk lain yang ada di dunia ini. Entah…, harus belajar dari Vampire atau Shift Shaper bagaimana kedua kelompok itu saling menjaga daerah mereka dan berdamai dengan dialog-dialog dan tanpa kekerasan, yang terpenting adalah mau mengerti situasi yang dihadapi kelompok lain.

Masa sih manusia yang katanya mahluk Tuhan yang paling sempurna, tapi tidak sempurna dalam berdialog? Apa karena di Indonesia itu banyak agama, banyak suku, banyak adat istiadat, banyak bahasa daerah, banyak kebiasaan, dan banyak lainnya jadi susah berdialog dengan satu bahasa?

Saya usul, pakai bahasa kasih dan bahasa cinta dalam berdialog.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline