Lihat ke Halaman Asli

Ayu Safitri

Trainer dan Konsultan Homeschooling

Gunung, Matahari, Sawah dan Jalan Raya: Bukti Jiwa Seni yang Mati

Diperbarui: 13 Agustus 2017   17:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: SeminarParenting.com

Apakah ini bukti kekompakan saya bersama teman sekelas waktu sekolah dasar dulu atau bukti ketumpulan jiwa seni yang kadung tak diasah? Jika diminta untuk menggambar dengan tema alam, kita selalu seragam.

Bisa menebaknya? Anda benar! Dua buah gunung dengan secuil penampakan matahari yang diwarnai kuning semu oren di tengahnya. Di bawah gunung, kita buat lekukan jalan raya dengan kelir abu-abu yang pinggirnya kita tambahkan sawah menghijau hasil jerih payah pak tani. Yang kita anggap itu sawah sebenarnya lebih mirip dengan simbol centang nan diberi warna hijau supaya tampak seperti benih padi yang sedang bertumbuh.

Kalau ingin sesuatu yang berbeda, kita bisa tambahkan burung sederhana dengan menggambar garis yang mirip 2 alis tipis dan digabung jadi satu. Supaya sawahnya terlihat nyata, saya juga menaruh beberapa rumput liar. Karena sawah yang asli sepertinya tak hanya ditumbuhi padi. Ada beberapa tanaman liar yang numpang hidup di sana.

Entah siapa yang awalnya mencontohkan. Saya sendiri lupa, apakah itu bapak, ibu guru di kelas atau buku-buku paket sekolah dasar yang memberi petunjuk. Hebatnya, hanya dengan menunjukkan gambar pegunungan itu kita bisa mendapat nilai 8 untuk kegiatan kesenian. Bukankah itu nilai yang cukup tinggi?

Dicekoki Pil Anteng

Kebetulan saya lulus dari fakultas keguruan dan ilmu pendidikan. Saat diberi kesempatan praktik mengajar di sekolah yang sesungguhnya, saya berharap anak-anak bisa diajak kerjasama. Artinya, saya ingin mereka anteng, nurut, tak banyak cingcong atau alasan, kalau perlu tak usah berpendapat supaya tugas saya cepat selesai.

Kenyataannya, justru sebaliknya. Saya seperti melihat monster-monster kecil yang baru saja dibebaskan dari penyekapan. Mereka begitu aktif berebut bicara, ingin bergabung dengan penjelasan saya seolah baru merasakan asyiknya seni belajar.

Tersadarlah saya. Kehadiran saya dan teman-teman sebagai mahasiswa praktik di sana bagaikan tiket pembebasan jiwa terperangkap anak-anak dari kebiasaan lama sang guru. Yang mengharuskan anak-anak duduk diam, tangan di atas meja, fokus mendengarkan, tak boleh beropini atau menyangkal penjelasan guru karena target menyelesaikan kurikulum bisa tak tercapai.

Murid-murid ini menganggap orang baru, muda nan fresh layaknya mahasiswa praktik bisa menghadirkan suasana berbeda. Boleh ramai, boleh clemonganasal sejalan dengan materi pelajaran, boleh tak hanya duduk, boleh mengerjakan tugas dengan cara mudah kreasi mereka sendiri, boleh tak memakai rumus yang diberikan guru tanpa perlu dicap salah atau membelot.

Itulah kenapa saya kaget saat pertama kali bertemu mereka. Harapan supaya mereka diam dan nurut, saya hapus. Karena muncul rasa iba dan sedih. Anak-anak ini adalah diri saya di masa lalu. Saya juga tak suka jika harus dipaksa diam mendengarkan. Saya pun lebih suka mengerjakan tugas pakai cara saya sendiri yang mudah nan sederhana.

Bukankah guru tipe ini lebih mementingkan hasil daripada proses? Kenapa harus menyalahkan anak-anak jika tak menggunakan rumus sesuai buku paket? Kenapa melarang kita menjadi kreatif mencari jalan sendiri? Seperti pepatah, ada banyak jalan menuju Roma. Beritahu saja rambu-rambunya, kemudian ijinkan kita berjuang mencari celah sendiri untuk sampai ke tujuan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline