Lihat ke Halaman Asli

Gunung Kawi

Diperbarui: 24 Juni 2016   23:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Panas, dan kering. Musim kemarau di bekasi telah menyentuh suhu 39 derajat celcius, mungkin hampir setengahnya dari titik didih, kondisi ini diperburuk oleh sedikitnya pohon di komplek perumahan, seakan-akan kota ini telanjang di hadapan matahari yang gagah perkasa. Dalam kondisi dimana udara terlihat meliuk-liuk di atas aspal panas, ratusan motor dan mobil masih saling memenuhi jalan, dengan asap yang mengepul, klakson yang berbunyi, dan ejekan sumpah serapah yang keluar dari mulut pengendara. Mereka saling berkumpul membentuk barisan yang berantakan, kadang diantaranya memasuki trotoar tempat orang berjalan kaki, berjalan dengan ritme yang sangat lambat.

Saat itu orang-orang mengelus kepalanya dengan sapu tangan, keringat keluar dari ketiak mereka membekas warna kuning. Terutama orang ini, yang berteriak dari pagi memanggil namaku di depan pagar. Pak Tumpal namanya. Dia menggunakan jas hitam, dalaman putih berdasi. Memegang tas di tangan kirinya, helm di tangan kanannya. Dia penagih hutang yang tak kunjung kubayar, dan ini adalah kelima kalinya dia datang kesini. Aku sudah tebal muka dengan tetangga, istriku selalu mengeluh tentang omongan mereka kepada kami, tapi tetap kenyataannya memang bahwa kita tidak bisa membayarnya, mau bagaimana lagi?

“Bapak Rian! Buka pintunya bapak Rian! Kita selesaikan ini baik-baik!!”

Selesaikan baik-baik? Apa kita ingin berantem?

“Pah, papah!”

Anakku saat itu menarik bajuku yang kini tengah mengintip lewat gorden jendela.

“Tadi mas itu ngomong sesuatu loh pah, pas papah lagi di kamar mandi..”

Ketika aku mendengarnya, kuperhatikan bahwa terdapat air mata yang membekas di mata Ria. Sesuatu pasti telah terjadi padanya, pasti karena Pak Tumpal sialan di depan pagar tersebut, walau mungkin ini salahku juga karena Ria yang selalu kusuruh untuk berbicara dengan bapak itu di depan, berbohong bahwa aku sedang pergi bekerja. Jelas dia akan mengintrogasi anak-anak yang polos juga nurut ini, tapi membentak memang sudah keterlaluan.

“Kamu nangis karena mas-mas itu? Masnya ngomong apa tadi?”

“Kaget pah, aku diteriakin, terus..terus..”

Aku tersenyum, berjongkok dan mengelus rambutnya yang ikal, walau rasanya ironis diriku melakukan ini, seperti peduli dan akan segera memarahi pria tersebut ketika Ria akan mengatakan alasannya menangis, namun kenyataannya aku takkan melakukan apapun. Aku nyatanya terlalu takut pada pria yang berada di depan itu, yang badannya lebih besar dari pagar kecilku, yang tangannya sudah mengepal keras untuk memukul jika saja aku bersikeras untuk tidak membayarnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline