Lihat ke Halaman Asli

Sarang Peluru

Diperbarui: 22 Juni 2016   00:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mereka akan hukum tembak aku, 15 menit lagi, dan setidaknya aku sudah menunggu sejak 5 tahun yang lalu, diulur-ulur sampai bosan ingin kugigit lidah ini. Kematian kini bagai harapan dari ruang sempit, makan bersama dengan tahik-tahikku, berbicara dengan lalat setiap harinya. Bau mesiu seperti bau kemenangan yang kunanti-nantikan, apalagi mayat-mayat yang melewatiku, di bopong dengan tandu, ditutupi mata dan dahinya, dan kulihat senyumnya itu. Senyum yang mungkin akan kulepaskan nanti.

Tapi sedemikian rupa pikiranku memuja kematian, badanku tidak demikian. Dia mengutuk, memberiku mimpi buruk, neraka, hanya neraka tempat penantianku. Gemetar aku dibuatnya, kakiku, bulu kudukku, air mataku yang keluar. Aku benci kemunafikan, dan kemunafikan muncul dalam alam bawah sadar terdalamku.

Dor!

Suara tembakan, Sniper Rifle Pietro Beretta, peluru berkaliber CF 18mm dengan daya letus piston 92FS, tertulis di lembaran detil eksekusiku, dan aku makin-makin familiar dengan suara teman baruku ini. Karena aku sarangnya nanti, bagai tanah tempat bibit pohon, aku akan menjadi sarang peluru.

Dor!

Mereka tembak dua kali, yang berarti satu meleset, atau mungkin belum benar-benar mati.

Kini mayat digiring lagi. Satu mengenai leher, lalu kedua mengenai kepala. Kini bibir yang lewat tidak lagi tersenyum, dengan darah yang bercecer dimana-mana, dan mulut yang terlihat meringis, dia salah satu yang tidak beruntung untuk bertemu dengan kematian.

Mungkin saja karma.

Kita yang mau dihukum mati ini punya banyak cerita, dan bentuk kematian kita mungkin merupakan wujud karma dari segala kisah yang telah kita bentuk. Dia yang mati pertama, Anton, nama panjangnya lupa karena disembunyikan perihal kematiannya oleh media, tapi aku kenal baik dengan dirinya. Seorang marxis, anarkis, perjuangan yang katanya demi bangsa malah akhirnya yang membunuhnya. Matinya sedemikian manis, tuhan mungkin berikan dia surga bersama para penjunjung revolusi, atau mungkin bersama Che Guevara, Lenin dan mungkin Karl Marx sendiri di neraka, tempat yang elit menurut dirinya, tidak buruk juga. Yang satu lagi namanya Farid Agdianto, yang salah tembak tadi. Nah, yang ini menarik, terkenal di koran-koran juga televisi, tragis tapi bangsat. Pedofil, hasil buah korban pedofil, diperkosa ayahnya hingga tidak bisa libido di depan wanita telanjang sekalipun. Diperkosanya anak-anak, lalu dibunuh. Dia juga bunuh menantunya, lalu dia bunuh ibunya. Bangsat memang, tapi ini salah nasib memang akal sehatnya menghilang, setidaknya cukup berakal untuk menceritakan kisahnya ke diriku.

Kalo aku?

Oh, aku tidak seperti mereka. Tak bisa salahkan dunia kapitalis seperti Anton yang dibunuh kaum pemodal, ataupun salahkan dunia yang kurang kemanusiaan seperti Farid yang kemudian kehilangan akal dan nuraninya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline