Lihat ke Halaman Asli

Lion Star

Undergrad student

Waspada, Indonesia Krisis Air Sebelum 2040 Semakin Nyata

Diperbarui: 23 Oktober 2015   03:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Baru-baru ini, World Resources Institute (WRI) merilis sumber daya air tawar yang dimiliki oleh setiap negara di dunia. Berdasarkan informasi jumlah perkiraan cadangan air tawar yang dimiliki,  mereka mengembangkan penelitian dengan melakukan simulasi antara cadangan air bersih yang tersedia di alam dengan tingkat pertumbuhan populasi di negara bersangkutan, tingkat pengembangan kota, pertumbuhan industry, alokasi  pemerintah terhadap pengelolaan air di tahun-tahun sebelumnya serta rencana pengembangan resapan air, dan juga memasukkan model perubahan cuaca setiap 10 tahun yang akan semakin meningkat menjadi lebih panas.  

Penggabungan skenario antara data prediksi perubahan iklim dalam beberapa puluh tahun kedepan, dan juga tingkat pertumbuhan sosial ekonomi suatu negara digunakan untuk membuat peta prediksi dan memperingkat negara-negara yang diduga akan mengalami krisis air  sekitar tahun 2040. Dalam prediksi ini, mereka juga memasukkan faktor aktual yang sedang terjadi saat ini, dan diperkirakan masih akan berdampak sampai sepuluh tahun kedepan, seperti konflik di kawasan Timur Tengah, dan juga konflik di beberapa negara Afrika. Teknikal research tentang sumber daya air bersifat independent, bebas dari politik,  walaupun pendanaannya mendapatkan support dari PBB bidang lingkungan hidup (Global Canopy Programme and United Nations Environmental Programme Finance Initiative), serta BMZ (German Federal Ministry for Economic Cooperation and Development).              

[caption caption="Peta proyeksi negara krisis air 2040 (Sumber : World Resources Institute)"][/caption] Penulis mengangkat issue krisis air ini, dikarenakan melihat situasi terkini yang banyak dilaporkan Kompasianer juga tentang bencana bukan nasional yang berupa kabut asap dan kebakaran hutan.  Selama ini banyak pihak di Indonesia hanya fokus pada kebakaran hutan, dan kabut asap yang sudah menyebabkan puluhan ribu penduduk sesak napas,  asma,  menderita penyakit saluran pernapasan, bahkan ada yang melaporkan tingkat indeks polusi partikel berbahaya di udara bebas sudah lebih dari 5x lipat tingkat berbahaya yang ditetapkan WHO.

Pemerintah  dan lembaga terkait  selain fokus pada solusi pemadaman hutan, dan menghilangkan partikel asap karbon, seharusnya juga memikirkan dampak daripada partikel karbon tersebut pada ketersediaan air bersih yang sudah pasti akan mengalami dampak masuknya partikel hasil kebakaran hutan kedalam aliran air sungai, yang ujung-ujungnya menjadi konsumsi masyarakat umum juga. Selama ini belum terdengar hasil penelitian yang setidaknya dipublikasikan tentang jumlah partikel di aliran air sungai atau danau di daerah terdampak bencana asap, yang airnya juga menjadi bahan baku air minum masyarakat.

Indonesia Peringkat 51 Dunia Krisis Air

Berdasarkan peringkat dunia krisis air tahun 2040, yang baru dirilis pada bulan Agustus 2015 ini, terlihat peringkat 10 besar negara-negara yang akan mengalami krisis air serius didominasi oleh negara-negara kawasan Arab, selain dari Singapore. Krisis air di kawasan teluk dikarenakan iklim yang cenderung panas ekstrim, terkadang di beberapa tempat bisa mencapai 50 derajat Celcius,  atau lebih, terbatasnya sumber daya air tawar, dan diperparah lagi dengan konflik bersenjata di kawasan Timur Tengah, seperti konflik Suriah, Yaman,  masalah Israel dengan negara-negara Arab, dan juga dikuasainya beberapa kota strategis dan sumber daya alam oleh kelompok Kekafilahan ISIS.

Berdasarkan rangking yang dirilis Agustus 2015 tersebut, maka Indonesia mendapatkan peringkat 51 di dunia, dengan tingkat krisis level resiko tinggi (High 40-80% possibility).   Sedangkan peringkat yang sangat tinggi dengan skor 5 (kemungkinan > 80%) adalah Bahrain, Kuwait, Quatar, San Marino, Singapore, Persatuan Emirat Arab, dan Palestina.

[caption caption="Daftar peringkat negara krisis air by 2040 (sumber WRI, rilis Agustus 2015)."]

[/caption]

Dampak Kebakaran Hutan dan Ketersediaan Sumber Air Bersih Indonesia

Berdasarkan data WRI tersebut, dapat diketahui bahwa walaupun memasukkan faktor deforestasi untuk Indonesia, tetapi tidak memasukkan faktor bencana bukan nasional yang berupa kebakaran hutan disengaja. Hutan tidak mungkin terbakar sendiri, kecuali dibakar untuk tujuan membuka lahan secara cepat dengan biaya murah meriah. Selama ini semua pihak sibuk berpolemik tentang dahsyatnya kebakaran hutan yang terjadi, dilengkapi dengan peta hotspot yang memerahkan Indonesia dari Papua, Maluku, Kalimatan, hingga Sulawesi.

[caption caption="Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memantau titik api (sumber BBC Indonesia)."]

[/caption] Lahan gambut merupakan tempat penyimpanan karbon (C) yang sangat besar di daratan,  sebagaimana anda ketahui, lahan gambut akan mengikat karbon dari udara bebas dengan ketebalan antara  0 sampai 3 mm per tahunnya, sehingga menjaga kelestarian lahan gambut sama juga mengurangi dampak efek gas rumah kaca. Selain mengikat karbon, lahan gambut juga berfungsi sebagai penyangga hidrologi. Apabila lahan gambut ini diganggu dengan deforestasi masal, apalagi pembakaran, maka karbon yang diikat (C ) akan terlepas dan menjadi Karbon Dioksia (CO2), dan Indonesia akan menjadi penyumbang efek gas rumah kaca yang terbesar di dunia akibat kebakaran lahan hutan gambut ini.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline