Siang itu, Mira berlari tersengal-sengal seolah menghindari sesuatu yang membuatnya sangat ketakutan. Sepatunya yang lusuh bergaris tak beraturan itu menyenggol pot bunga hingga pecah, merasa tak ada yang melihat dia kemudian melanjutkan langkah lebarnya menyusuri gang sempit yang masih ramai dengan manusia yang bergumul dengan kesibukan mereka.
"Mira....! Hey.." suara yang tidak asing itu semakin terdengar mendekat, langkah Mira pelan tertahan. Senyumnya mulai merekah merasa bahwa dia sudah betul-betul aman dari tiga pria yang membuntutinya.
"Sorry Dew..aku harus pulang", ucapku sembari memperbaiki posisi sepatuku yang sedikit terinjak oleh tumitku sendiri.
"Kamu kenapa sih? dikejar apa kamu? ", Dewi mulai merasa curiga dengan gelagatku yang tidak biasa.
"Nggak kok, aku cuma harus menemui Mas Pri secepatnya, ada yang harus kusampaikan," tanpa menunggu Dewi melanjutkan pertanyaannya, aku bergegas menuju rumah.
Suara pintu membuat Mas Pri menegok kearah pintu dengan kening yang berkerut, dia mendekatiku,
"Lho dek, kok dah pulang? tanya Mas Pri penasaran.
"Anu Mas, aku..aku..'" aku tidak sanggup meneruskan kata-kataku, suaraku tertahan oleh kesedihan yang menumpahkan air mataku seketika.
Mas Pri memelukku dan mencoba menenangkanku, "Dek, cerita ke mas, apa yang terjadi?" Rambutku disingkapnya dan menatapku dalam agar aku bisa menceritakannya.
Tarikan nafas panjaag membuatku mulai merangkai kata untuk menceritakan pada Mas Pri tentang apa yang kualam.
"Mas, maafkan aku...tolong jangan marah, aku tidak pernah bermaksud melakukannya, jadi tolong percaya padaku mas,"
Mas Pri semakin bingung dengan kata-kataku, tatapannya semakin tajam mencoba mengorek apa yang hendak kusampaikan.
"Dek, mas tidak megerti, apa maksudmu?" Mas Pri sangat kebingungan
"Kita telah bersama lebih dari 15 tahun dek, apa pernah mas tidak percaya padamu?" kata-kata Mas Pri membuatku mulai nyaman.
Perlahan Mas Pri menyodoriku kursi dan menuntunku duduk lalu memberikan aku segelas air putih, ia duduk dihadapanku dengan posisi jongkok agar aku bisa betul-betul bisa memulai bercerita.
"Mas..aku dipecat karena,,,'" aku terhenti sejenak sebab bayangan menjijikkan itu menari-nari diingatanku.
"Karena apa dek?" Mas Pri tidak sabar mendengar penjelasanku, kedua tangannya yang berpangku di pahaku mulai terasa menekan sebagai isyarat ketidakpuasannya.
"Mas..aku dipecat karena aku menolak ajakan Bosku untuk berhubungan intim, dia memaksaku mas, dia ngancam aku, kalau aku tidak mengikuti kemauannya maka aku tidak bisa lagi kerja di pabrik," dadaku sesak kini.