Lihat ke Halaman Asli

Sang Pencari Kebenaran

Diperbarui: 2 November 2016   11:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belajar dari Sosok Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno dan Prof. Dr. Justinus Sudarminta

Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara berpesta. Berpesta bagi dua guru besar dan pejuang filsafat di Indonesia, yakni Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno (Rm. Magnis) dan Prof. Dr. Justinus Sudarminta (Rm. Sudarminta). Bertambahnya umur keduanya dirayakan secara spesial oleh civitas academica STF Driyarkara, bersama penerbit Kompas Gramedia. Dalam pesta kegembiraan ini, diluncurkan dua (2) buku yang secara khusus ditujukan kepada kedua jubilaris: “Franz Magnis-Suseno: Sosok dan Pemikirannya” kepada Romo Magnis dan “Dengan Nalar dan Nurani: Tuhan, Manusia, dan Kebenaran” kepada Rm. Sudarminta. Kedua buku ini ditujukan sebagai hadiah dari “kawan dan murid” keduanya (para dosen STF Driyarkara).Bṻcher sind nur dickere Briefe an Freunde. (Buku-buku adalah surat-surat lebih tebal kepada kawan-kawan).

Festschrift: dari Murid untuk Guru

STF Driyarkara memiliki tradisi yang unik. STF Driyarkara akan “menghadiahi” para dosen sebuah buku yang ditujukan baginya sebagai hadiah ulang tahun. Namun, hanya dosen yang mencapai umur lebih dari 60 tahun yang dihadiahi buku spesial tersebut. Fetschrift berasal dari Bahasa Jerman yang berarti “ buku pesta”; biasanya dipersembahkan kepada seorang pribadi yang dihormati, seorang akademikus, oleh sahabat-sahabatnya. Dengan demikian, kedua buku yang diluncurkan kali ini merupakan hadiah oleh para rekan dosen STF Driyarkara – yang mayoritas dulunya mahasiswa keduanya - kepada kedua jubilaris.

Jika ditilik dan direfleksikan secara lebih mendalam, kedua buku ini sesungguhnya merupakan persembahan dari “para murid” kepada “para guru” tercinta mereka. Budi Hardiman, editor dan penggagas terbitnya festschrift, menyatakan bahwa kedua jubilaris ini berperan besar dalam proses formasi filsafat para kontributor. Tak ayal memang. Kedua buku ini ditulis oleh mayoritas rekan dosen dan sahabat keduanya. Sebut saja di antaranya: Dr. A. Sunarko, Prof. B.S. Mardiaatmadja, Dr. A. Setyo Wibowo, Dr. Karlina Supelli, Dr. Thomas Hidya Tjaya, Prof. Dr. A. Sudiardja, Dr. B. Herry Priyono, Dr. Simon L. Tjahjadi, Dr. Matius Ali, Komarudin Hidayat, dan masih banyak lainnya.Kedua buku ini tidak sekadar mengisahkan sosok dan perjumpaan dengan kedua jubilaris, melainkan juga pemaparan ilmiah topik-topik yang disenangi keduanya.

“Apresiasi” atas kedua festschrift pun diadakan. (STF Driyarkara – dengan sengaja – memilih istilah “apresiasi” daripada istilah “bedah buku” dalam momen peluncuran suatu buku baru. Kritik yang disampaikan merupakan sumbangan intelektual bagi para penulis). Para apresiatornya pun tidak kepalang tanggung, yakni Prof. Dr. Toeti Herati (Guru Besar Filsafat Universitas Indonesia) dan St. Sularto (redaktur senior harian Kompas). Keduanya, secara menarik, memaparkan apresiasinya atas tulisan-tulisan dalam kedua festschrift. Pada intinya kedua apresiator menekankan bobot ilmiah kedua festschrift sebagai sumbangan bagi belantara studi filsafat di Indonesia.

Franz Magnis-Suseno: Kritik itu Biasa

Dalam kata sambutannya Rm. Magnis menyatakan kegembiraannya atas peluncuran festschriftini. Baginya, kritik itu hal yang lumrah terjadi. Kritik bukan untuk dihindari, melainkan diterima dengan lapang terbuka. Justru dalam kritiklah bisa terlihat kualitas dari yang dikritik dan kualitas dari sang pengkritik. “Buku pesta” yang ditujukan kepadanya bertemakan kajian serta pendalaman dan bahkan elaborasi lebih lanjut dari pemikirannya. Mulai dari persoalan ketuhanan, politik hingga kosmologi. Dengan demikian, tidaklah heran bahwa festschrift yang ditujukan kepadanya merupakan kajian kritis para penulis terhadap pemikirannya.

http://buku.kompas.com/Produk/Buku/Technical/Franz-Magnis-Suseno,-Sosok-dan-Pemikirannya.aspx

Rm. Magnis, selain sebagai seorang rohaniwan Katolik, dikenal dengan sosok yang gemar memberikan sumbangan pemikiran di belantara problematika Indonesia: dari persoalan filsafat hingga problem kebangsaan, seperti radikalisme, penggusuran, demokrasi Indonesia, dan lain sebagainya. Meskipun tidak dilahirkan di Indonesia, Ia amat mencintai Indonesia. Keputusannya berganti kewarganegaraan memperlihatkan kecintaannya pada bumi Indonesia. Cintanya pada Indonesia membuatnya tidak mau menutup mata atas permasalahan yang menimpa bangsa tercinta ini. Matanya terbuka dan mulutnya menyuarakan pemikiran dan perhatiannya – meski terkadang terdengar menyakitkan dan menyesakkan dada.

Kalau boleh berbagi cerita, saya pun termasuk mahasiswa beliau. Meskipun ia hanya sesekali mengajar angkatan saya di STF Driyarkara, ia selalu bersemangat dan berapi-api dalam mengajar. Sebuah papersingkat pun tak lupa ia persembahkan kepada para mahasiswa sebagai panduan pemaparannya di kelas. Penjelasannya yang runut, singkat, dan padat memudahkan saya dan teman-teman yang lain memahami materi-materi yang disampaikannya. Singkatnya, topik “Marxisme dan Komunisme” serta “Komunitarianisme” menjadi bahan yang “renyah” untuk dipelajari. Di tangannya, filsafat menjadi sangat relevan bagi situasi dunia saat ini.

Kritik itu biasa, bahkan memberi pijakan bagi perkembangan diri. Hal inilah yang membuka hati dan pikirannya atas kritik-kritik yang diajukan kepadanya sebagai tanggapan atas pemikiran yang disuarakannya. Oleh karena itulah, festschrift ini disambut dengan senang hati dan hendak “digarap habis” olehnya dalam waktu singkat – sebagaimana diungkap dalam sambutannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline