Lihat ke Halaman Asli

Andai Saja Machiavelli Jadi Ketua KPK

Diperbarui: 19 September 2016   21:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada tahun 2014 Transparency International mengeluarkan Corruption Perception Index (CPI) yang di dalamnya terdapat daftar 175 negara di dunia berdasarkan tingkat korupsi yang terjadi. Di antara ke-175 negara tersebut, Indonesia menempati posisi 117 dengan skor 34 (skala 0-100, rendah ke tinggi). Laporan Transparency International ini memperlihatkan betapa Indonesia merupakan negara dengan tingkat korupsi yang tinggi. Dampak langsungnya adalah adanya perhambatan dalam tingkat pertumbuhan dan kemudahan dalam berinvestasi di Indonesia.

Peristiwa yang menimpa Imran Gusman, ketua DPD RI kita, seolah-olah mengamini CPI dari Transparency International. Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap dirinya memperlihatkan bahwa korupsi masih menjadi penyakit laten dalam tubuh Pemerintahan Republik Indonesia. Berapa pun besaran uang yang diterima tetap saja memperlihatkan keburukan ikhtikad para koruptor – terutama mereka yang duduk di “tahta” pemerintahan RI.

Machiavelli dan Korupsi

Sekitar abad 15-16 hiduplah seorang politisi sejati bernama Niccolo Machiavelli. Seluruh hidupnya ia curahkan untuk masuk dalam “persenian menata kota” (perpolitikan). Buah-buah pikirannya dalam Il Principe dan Discorsi menjadi referensi bagi para pemikir politik, baik para politisi praktis maupun para filsuf politik. Secara tegas Machiavelli menekankan perlunya ketertundukan rakyat kepada Sang Pangeran. Di samping itu, Machiavelli juga menuntut Sang Pangeran (atau dalam bahasa kita sebagai pemimpin negara) untuk “membaca tanda-tanda zaman”; memiliki kalkulasi strategis sehingga rakyat menjadi patuh dan tunduk sehingga segalanya dapat diatur demi kepentingan bersama.

Pemikiran politik Machiavelli secara umum memang untuk menata negara sehingga berjalan bagi kepentingan banyak orang. Meski demikian, secara khusus, Machiavelli pun memberi “resep” untuk menanggulangi korupsi yang sudah sejak dahulu merajalela. Korupsi menjadi penyakit dan juga “kutu busuk” yang merusak sebuah negara yang dalam jangka panjang dapat merusak perjalanan penataan sebuah negara.

Bagi Machiavelli, korupsi dapat diartikan ke dalam dua kategori. Pertama, korupsi merupakan sebuah peritiwa hilang dan rusaknya disiplin dan keutamaan (atau virtu) orang sebagai warga republik. Hal ini dilihat dalam kemerosotan akhlak warga negara, kemalasan, rusaknya keadaban dan disiplin warga, dan hilangnya daya militansi. Kedua, korupsi merupakan penyingkiran kepentingan umum oleh kepentingan diri. Kepentingan pribadi (dan golongan) mendominasi kepentingan bersama; ketika kaum kaya (pemilik modal – oligarki) menguasai dan mendominasi kehidupan warga biasa. Dengan kata lain, tindakan korupsi terjadi ketika virtu tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Korupsi mengakibatkan adanya ketidakseiramaan antara usaha mencapai kesejahteraan bersama dengan tujuan yang hendak dicapai. Konsekuensinya, rakyat dapat mengalami degenerasi (penurunan) virtu. Ada dua macam. Pertama, masyarakat akan kehilangan ketertarikan dan kepentingannya (interests) dalam politik, juga dalam usaha mencapai common good. Kedua, lebih serius dan berbahaya, rakyat akan tetap loyal dan aktif dalam dunia politik, tetapi dunia politik digunakan sebagai batu pijak untuk mencapai kepentingan diri sendiri atau “loyalitas atas kelompok/golongan” daripada kepentingan publik.

Melihat dampak korupsi yang amat mengerikan bagi hidup bernegara, Machiavelli menyampaikan adanya tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam penanggulangan korupsi. Pertama, seorang pemimpin perlu memiliki kecakapan dalam membaca “tanda-tanda zaman”, terutama dalam melihat saat-saat kepentingan pribadi dan golongan menggantikan kepentingan publik. Kedua, adanya paket hukum dan konstitusi khusus yang diterapkan dalam situasi khusus dan darurat. Paket khusus ini digunakan untuk memastikan rakyat tidak melakukan tindakan buruk sehingga tidak mengganggu terciptanya kebebsasan dalam berepublik. Ketiga, perlunya sosok ordini (orang atau lembaga khusus) yang ditunjuk oleh penguasa, dalam jangka waktu tertentu, untuk memastikan keberlakuan hukum dan konstitusi yang diterapkan, bahkan dengan kekerasan (coercive power).

Tindakan korupsi merupakan tindakan yang mendesak untuk ditindaklanjuti karena mengancam kebaikan bersama dalam republik. Lebih-lebih daripada itu, degenearsi virtu akan berakibat fatal dalam dunia perpolitikan. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu kebijakan yang keras dan menakutkan untuk menekan rasa takut masyarakat agar kembali menekankan kepentingan bersama dalam naungan dan pedoman dari sang penguasa.

Pemiskinan Total Koruptor

Dari tiga usul Machiavelli, Indonesia sudah memenuhi unsur ketiga, yakni pembentukan KPK (sebagai ordini). Pemenuhan unsur pertama, “membaca tanda-tanda zaman”, memerlukan partisipasi aktif dari segenap rakyat Indonesia. Menjadi persoalan adalah bagaimana memenuhi unsur kedua, adanya paket hukum atau konstitusi khusus yang menimbulkan efek jera bagi para koruptor.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline