Lihat ke Halaman Asli

Sokrates: Hidup, Ajaran, dan Tanggapan Kritis

Diperbarui: 15 Oktober 2015   21:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sokrates: Hidup, Ajaran, dan Tanggapan Kritis

 

Kehadiran Sokrates dalam ranah filsafat Yunani klasik memberikan kontribusi besar bagi perkembangan sejarah filsafat Yunani klasik. Ia tidak pernah menulis sebuah karya pun, bahkan satu kalimat pun tidak. Segala hal yang diketahui tentangnya hanya dapat diketahui melalui berbagai sumber dari para muridnya, seperti Platon, Aristophanes, dan Xenophon, yang rentan akan penambahan dan pengurangan. Ia menjadi filsuf sekaligus non-filsuf sehingga ia pun mengajarkan dan juga tidak. Pengajarannya memberikan warna baru bagi perkembangan dunia filsafat. Manusia menjadi objek dan subyek berfilsafatnya. Tujuan hidup manusia adalah mencari kebaikan dan kebenaran hidup.

 

Riwayat Hidup Sokrates.

 

Sokrates lahir pada tahun ± 469 SM di Athena dan terdaftar sebagai masyarakat distrik Alopece. Ia tumbuh dan berkembang pada masa keemasan Athena. Athena maju dalam bidang perekonomian sehingga menjadi magnet bagi banyak orang untuk datang. Akan tetapi, Sokrates tidak berasal dari keluarga yang kaya. Keluarganya merupakan sebuah keluarga yang sederhana. Ayahnya bernama Sophroniskus, seorang ahli patung (pematung), sementara sang ibu, bernama Phaenarete, merupakan seorang bidan.

 

Ia dikisahkan sebagai seorang yang buruk rupanya. James Miller menggambarkan Sokrates sebagai seorang pria yang berkepala botak, berperut besar, mata yang melotot, dan berbibir bawah tebal. Ia juga sering disamakan dengan Silenus seorang tokoh legenda Yunani yang buruk rupa (satyr). Akan tetapi ia tidak pernah berusaha menutupi kekurangan dirinya dengan mencari berbagai pakaian yang menutupi dirinya. Ia selalu menggunakan pakaian yang sama dan berjalan-jalan dengan kaki telanjang. Ia juga terkenal sebagai seorang yang memiliki kekuatan ”super”. Ia selalu menggunakan pakaian yang sama dalam berbagai cuaca. Ia pun juga mampu berjaga semalaman selama perang dan berpuasa.

 

Sokrates merupakan warga yang sangat taat pada hukum polis-nya. Sesuai dengan ketentuan polis Athena, Sokrates ikut dalam membela polis-nya berperang dan mempertahankan kekuaasaan Athena melawan polis-polis lain yang ingin berkuasa. Ia tergabung sebagai hoplit (infanteri, pasukan darat). Pada tahun 432 SM Sokrates ikut serta dalam penyerangan Potidaea. Ia pun juga ikut serta dalam pertempuran di Peloponesos pada tahun 431 SM, yang berakhir dengan kekalahan Athena, dan ketika melawan Thebes di Delion pada 424 SM.

 

Sejak kecil Sokrates dapat mendengar suara-suara aneh yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri. Suara aneh itu berisi larangan-larangan untuk dirinya dalam melakukan suatu hal. Akan tetapi, suara ini tidak pernah menyatakan hal-hal apa yang harus ia lakukan. Keputusannya untuk tidak menjadi seorang pematung, seperti sang ayah, juga merupakan hasil bujukan dari suara aneh tersebut. Ia mendedikasikan dirinya untuk mencari kebenaran (kebaikan)  hidup ”the good of life”.

 

Ketika mencapai masa keemasannya (great fifty years), Athena mulai dipenuhi dengan kaum Sofis yang mengajarkan banyak hal baru. Beberapa kaum Sofis ini adalah Anaxagoras dan Gorgias. Kaum sofis menarik bayaran dalam pengajarannya. Tujuan hidup mereka adalah mencari kesuksesan hidup (secara materiil) melalui retorika (seni berbicara). Mereka juga berpendapat bahwa kebenaran itu bersifat relatif. Sokrates tidak senang dengan kehadiran mereka dan tidak sependapat dengan mereka. Sokrates mempunyai pandangan yang lain, yakni mencari bagaimana cara terbaik untuk hidup.

 

Dalam mencari kebenaran Sokrates banyak bertanya kepada banyak orang. Ia menegaskan bahwa ia tidak tahu apa-apa. M. Hatta menggambarkan kegiatan Sokrates sehari-hari sebagai berikut: “Ia berbicara dengan segala orang, menanyakan apa yang dibuatnya. Ia selalu bertanya karena ia  mau tahu.” Tindakan inilah yang menjadikan namanya terkenal di Athena. Ia dianggap sebagai orang yang memiliki kebijaksanaan. James Miller mengisahkan Chaerophon, teman masa kecil Sokrates, sempat bertanya di Kuil (Orakel) Delfi akan seseorang yang bijaksana. ”Apakah ada orang yang lebih bijak dari Sokrates?” Jawaban yang ia terima adalah ”tidak”. Kata ”tidak” ini memberi arti bahwa Sokrates adalah seorang yang paling bijaksana pada masa tersebut. Jawaban dari Orakel Delfi menjadi berita besar maka dari itu Sokrates makin terkenal. Sokrates merasa dirinya tidak memiliki kebijaksanaan. Ia beranggapan bahwa Orakel Delfi membawa suatu pesan tertentu dari dewa. Ia merasa dirinya diutus oleh sang dewa untuk mencari makna sesungguhnya dari pesan tersebut.

 

Sokrates mempunyai banyak murid dan pengikut. Akan tetapi, ia tidak pernah meminta bayaran apa pun dari para muridnya. Bebeberapa muridnya berada pada basis politik yang berbeda-beda. Nikias dan Lakhes merupakan pendukung demokrasi, sementara Karmides dan Kritias merupakan pendukung Sparta dan sistem pemerintahan Oligarki. Alkibiades, sang penghianat, pun adalah muridnya. Selepas mengikuti proses pemuridan dari Sokrates, murid-murid Sokrates kemudian tumbuh menjadi orang-orang penting dalam pemerintahan, terutama dalam pihak musuh Athena.

 

Pada tahun 399 SM, seorang penyair bernama Meletus bersama kedua temannya Likon dan Anitus membuat tuduhan kepada Sokrates dan meminta agar polis menghukumnya. Polis akhirnya menjatuhkan hukuman mati kepadanya dengan hukuman menenggak racun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline