Lihat ke Halaman Asli

Jejak Sejarah dan Ke-Islam-An Suku Hui di Nusantara

Diperbarui: 19 Juli 2015   17:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di Tiongkok utara terdapat komunitas Suku Hui yang mayoritas beragama Islam kuat. Kehidupan orang-orang Suku Hui pada masa modern kebanyakan bersifat pedesaan dengan mata pencaharian utama di sektor pertanian dan peternakan. Namun pada masa dahulu (sekitar abad 13), Suku Hui adalah suku yang sangat kuat dan ditakuti. Suku Hui berada di bawah kedaulatan Bangsa Yuan (Mongolia). Ada tradisi yang menyatakan bahwa Suku Hui adalah suku eksklusif keturunan tentara Mongolia. Namun tradisi lain mengatakan bahwa leluhur Suku Hui adalah hasil perkawinan antara pedagang-pedagang Persia dengan penduduk asli.

Orang-orang Suku Hui memiliki keterkaitan erat dengan Mongol. Sampai sekarang orang biasa menyebut mereka dengan istilah Mongolia Hui. Pada masa pemerintahan Jenghis Khan, kakek Khubilai Khan, orang-orang Hui yang sangat potensial diberdayakan alam berbagai bidang, khususnya dalam ekpansi militer ke Timur Tengah dan Eropa. Namun Jenghis Khan belum sempat melakukan ekspansi ke wilayah Tiongkok daratan, Asia Timur, dan Asia Tenggara. Misi ekspansi ini dilanjutkan oleh generasi penerusnya dengan didukung oleh para tentara dari Suku Hui.

Dalam peristiwa ekspansi Mongol ke wilayah Tiongkok daratan (Dinasti Song), Kubilai Khan harus dihadang oleh dua kota benteng yang kuat, yaitu Fancheng dan Xhiangyang. Dua kota benteng ini seolah tidak dapat ditembus, sehingga membuat Kubilai Khan putus asa. Namun berkat arsitek perangnya dari orang-orang Suku Hui, maka benteng Fancheng dan Xiangyang dapat ditembus dengan hujan ketapel-ketapel buatan Suku Hui. Dalam peristiwa bersejarah itu, Kota Fancheng menyerah pada Mongol, sedangkan Xiangyang memilih bertahan sampai titik darah penghabisan. Pada peristiwa itulah (tahun 1279) tokoh Kwee Cheng dalam Legenda Pendekar Pemanah Rajawali terbunuh setelah habis-habisan bersama seluruh rakyatnya mempertahankan kota Xiangyang.

Takluknya Fancheng dan Xiangyang menjadi penanda runtuhnya Dinasti Song dan bangkitnya Dinasti Yuan. Pada masa itu orang-orang Suku Hui menguasai jabatan pemerintahan dan ekspor impor Tiongkok dengan negara-negara sekitarnya, khususnya yang berada di bawah penaklukkan Mongol.

Target ekspansi Mongol selanjutnya adalah Asia Timur dan Asia Tenggara. Satu per satu kerajaan mulai dikuasai oleh Mongol, mulai dari Korea, Annam (Vietnam), Champa (Kamboja), Tibet, Thailand dan Birma. Di Jepang (tahun 1281), tentara Mongol menghujani tentara Samurai dengan meriam-meriam buatan orang-orang Hui dan menghasilkan kemenangan besar. Namun sayangnya tsunami besar melanda mereka sehingga mereka meninggalkan Jepang.

Mungkin satu-satunya daerah yang dianggap kuat oleh Kubilai Khan pada saat itu adalah Singhasari, sebuah kerajaan di Jawa yang cukup ditakuti di Asia Tenggara. Apalagi peristiwa pemotongan telinga Mengchi, utusan negeri Mongol oleh Kertanegara, Raja Singhasari, benar-benar membuat Kubilai Khan mau tidak mau harus menghancurkan Jawa. Sementara tanpa sepengetahuan Kubilai Khan, ternyata Singhasari telah dijatuhkan oleh Jayakatwang dari Kadiri.

Pada tahun 1293 datang pasukan Mongol yang dipimpin Ike Mese untuk menaklukkan Jawa. Mereka dimanfaatkan Raden Wijaya untuk mengalahkan Jayakatwang di Kadiri. Setelah Kadiri runtuh, Raden Wijaya dengan siasat cerdik ganti mengusir tentara Mongol keluar dari tanah Jawa. Raden Wijaya pun mendirikan sebuah kerajaan baru bernama Kerajaan Majapahit yang masyur.

Hingga pada abad 15, ketika Mongol sudah runtuh dan Dinasti Ming berkuasa, tampillah seorang tokoh berkharisma dari Suku Hui. Ia adalah Cheng Ho, seorang laksamana yang tersohor karena berhasil mengarungi samudera dan melintasi berbagai benua. Cheng Ho mendapat misi dari kekaisaran Ming untuk menjalin hubungan persahabatan dengan negara-negara sekitar. Misi ini sekaligus dimanfaatkan oleh Cheng Ho untuk melakukan syiar agama Islam ke berbagai daerah yang dikunjunginya, salah satunya adalah Nusantara dengan cara menjalin hubungan ekonomi dengan Majapahit.

Cheng Ho menempatkan Gan Eng Cu sebagai pengelola perdagangan di Tuban atas persetujua Gusti Ratu Suhita. Gan Eng Cu yang juga seorang muslim, selain mengelola kegiatan perdagangan dalam skala nasional, juga melakukan kegiatan syiar Islam dengan bantuan ulama dari Campa, negara di bawah naungan Tiongkok, yang bernama Bong Swie Ho atau yang lazim dikenal dengan nama Sunan Ampel. Dialah yang pertama-tama membuka pesantren Islam di Jawa, tepatnya di Ngampeldenta, daerah Surabaya utara sekarang. Dia juga menjadi pemimpin Walisongo, majelis ulama Islam di Jawa kala itu.

Ketika Majapahit dikalahkan Demak, kerajaan itu tidak langsung runtuh, tetapi masih eksis di bawah naungan Demak. Menurut kronik Cina yang kabarnya dulu disimpan di Klenteng Sam Po Kong Semarang, pada masa itu Majapahit dipimpin oleh seorang raja utusan Demak yang berdarah Suku Hui, bernama Njo Lay Wa. Beberapa pendapat sejarahwan menyebutkan bahwa Njo Lay Wa memerintah Majapahit tidak lama karena dijatuhkan oleh pemberontakan Girindrawardhana yang kemudian naik tahta menjadi raja terakhir Majapahit.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline