Lihat ke Halaman Asli

Keyakinan di Antara Vetty Vera, Absolutisme, dan Simbol

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14317574521332793412

Sayup-sayup dari warung pojok dekat rumah saya terdengar alunan radio yang melantunkan lagunya Vetty Vera yang berjudul “Sedang-Sedang Saja”. Sejenak saya terhanyut dalam irama dan terdampar pada untaian liriknya. Kemudian dari lirik yang sederhana itu saya menemukan sebersit hikmah bahwa dalam hidup ini agar jangan memandang, menilai maupun mempercayai segala sesuatu secara berlebihan. Bersikap santai saja terhadap suatu klaim kebenaran yang masih sebatas katanya. Berdiri di posisi yang sedang-sedang saja dalam menakar kebenaran itu. Don’t be so serious! Kalau kata sesepuh Jawa: "ojo kagetan, ojo gumunan" terhadap nilai-nilai maupun fenomena yang baru.

Mengapa? Sebab secara naturnya manusia adalah makhluk emosi. Hal itulah yang seringkali membuatnya bias dalam menilai sesuatu. Emosi membuat manusia sering terjebak dalam perasaan like and dislike terhadap suatu objek. Terutama ketika objek tersebut menyangkut keyakinan atau agama, maka segala atribut di dalamnya secara otomatis menjadi benar apa adanya.

Suatu keyakinan atau agama sebenarnya bertujuan untuk mengarahkan manusia pada norma-norma kehidupan dengan harapan bahwa manusia tersebut dapat meraih kebahagiaan sejati dalam hidupnya. Suatu keyakinan atau agama memuat nilai-nilai yang ideal. Maka tidak heran di sanalah kita akan menemukan kisah tokoh-tokoh yang absolut, yang sempurna, yang suci, yang paling mulia dan sebutan jargon-jargon sejenisnya.

Agama Kristen meyakini Yesus adalah manusia yang tak bercacat cela, karena itu Ia layak dianggap sebagai Tuhan (The Lord) dan sang juru selamat. Agama Islam meyakini Nabi Muhammad sebagai insan kamil, uswatun hasanah, suri tauladan yang sempurna, nabi yang paling mulia. Agama Hindu Waisana meyakini Sri Khrisna sebagai avatara Wisnu, manusia yang sempurna dan kebenaran yang mutlak. Agama Buddha meyakini Gautama adalah Sang Buddha, sang penemu kebenaran dan yang mencapai penerangan sempurna. Disamping itu ada pula keyakinan-keyakinan atau sektarian dengan jargon tokoh-tokohnya sendiri yang diklaim sebagai sosok yang absolut. Bahkan beberapa tokoh-tokoh sejarah yang karismatik seringkali dipuja secara berlebihan seolah-olah steril dari kerak-kerak kekhilafan.

Fenomena demikian biasanya disebut dengan absolutisme. Sebuah penilaian mutlak terhadap suatu objek yang sebenarnya tidak realistis, hanya retorika yang ada di awang-awang, dan tentu saja tidak logis. Semua tokoh-tokoh yang dijadikan objek absolutisme sesungguhnya hanya dipinjam sebagai simbol bagi nilai-nilai ideal yang ingin disampaikan kepada publik. Tidak ada yang salah dengan fenomena absolutisme. Kita hanya perlu menyadari bahwa tokoh-tokoh absolut itu hanyalah imajiner, hanya simbol saja dari hakikat yang ingin dicapai. Mereka hanyalah inspirasi untuk menggugah jiwa kita agar bangkit mengejar dan meraih kesejatian hidup.

Nilai sifatnya abstrak, sulit diukur dan diobservasi, namun melalui simbol, nilai yang abstrak tadi lebih mudah disentuh oleh pikiran manusia. Selama kita masih manusia yang bernafas di dunia ini, kita perlu simbol-simbol untuk dapat menyampaikan atau memahami sesuatu yang esensial. Simbol bisa berupa apa saja, termasuk kosakata bahasa yang kita gunakan untuk menyampaikan suatu maksud. Misalnya dalam bidang matematika, kita perlu simbol rumusan untuk membuat suatu perhitungan luas atau volume. Tanpa simbol-simbol itu, sulit dibayangkan bagaimana caranya membuat suatu perhitungan.

Namun simbol tetaplah simbol, ia bukanlah tujuan itu sendiri, jangan sampai kita terjebak pada absolutisme simbol itu. Sebuah partitur lagu dapat dibuat dengan simbol not angka atau not balok, tapi yang penting tentu bukanlah jenis simbol notnya, yang penting adalah sang penyanyi dapat menyanyikan lagu dengan nada yang benar. Jika sang penyanyi sudah hafal nada-nada lagunya, ia tidak perlu lagi melihat partitur. Simbol hanya berfungsi sebatas media komunikasi dan fungsinya berhenti sampai suatu nilai dapat dipahami oleh seseorang.

Dulu saya menghabiskan banyak waktu berlelah-lelah mempelajari doktrin suatu agama, saya menyibukkan diri mencari pembuktian bahwa kisah dalam kitab suci saya itu benar dan riil, saya berdebat dengan orang-orang yang menyerang agama saya dan pada akhirnya saya menganggap diri saya layak masuk surga dengan segala pahalanya. Tapi kenyataannya hidup saya tidak diliputi kedamaian, karena fokus saya ternyata hanya pada simbolnya, bukan pada hakikat yang ada di balik simbol itu. Jadi masa bodoh dengan semua teologi A I U E O, yang penting saya tangkap hakikatnya dan hidup saya menjadi jauh lebih tenang.

Jangan terlalu serius masbro, lebih baik kita nyanyi dan joget bareng: “Hidup ini jangan serba terlalu yang sedang-sedang saja. Karena semua yang serba terlalu bikin sakit kepala”.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline