Lihat ke Halaman Asli

Lintang Prameswari

Content Writer

Kecintaan pada Buku dan Ruang-Ruang Komunal yang Menyelamatkannya

Diperbarui: 18 Mei 2023   14:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suasana pengunjung patjarmerah - Festival Kecil Literasi dan Pasar Buku Keliling Nusantara di gedung Soesman Kantoor, kawasan Kota Lama Semarang, Minggu (1/12/2019). Foto: Kompas.com/Riska Farasonalia

Kemarin, 17 Mei, diperingati sebagai Hari Buku Nasional. Orang-orang mulai membuka kembali ruang diskusi, menyampaikan segudang "prestasi" dan keberhasilan dalam merawat literasi, bahkan mencurahkan impian-impian utopis yang terlalu tidak realistis untuk diwujudkan di Indonesia. Saya tidak mau bilang siapa dan apa, tapi yang jelas, ini merupakan sebuah tulisan yang saya buat sebagai ruang apresiasi bagi ruang-ruang komunal yang hingga kini masih hidup dan terus memberi pelita pada ruang-ruang yang meski kecil, tapi tak pernah membuahkan hasil yang nihil.

Tidak, untuk menghidupkan literasi, kita tak perlu memberi panggung yang tinggi, menganggapnya sebagai ruang eksklusif dengan beban luar biasa tinggi untuk mencerdaskan bangsa, karena sejatinya, kecintaan kepada buku dibangun dari kebiasaan kecil untuk mengenalkan teks lewat ruang atau dimensi lain yang harus relevan dengan apa yang ada sekarang, lewat podcast, audio, video, quotes-quotes kecil tentang kesehatan mental, puisi-puisi pendek yang bisa diakses gratis di media sosial, dan kata-kata motivasi yang bagi sebagian penulis mungkin terkesan receh dan tidak perlu mendapat panggung, tetapi justru dari situlah generasi membaca kita akan tumbuh.

Ruang-ruang komunal yang selama ini tidak hidup dalam eksklusivitas itulah, yang justru berhasil menghidupkan literasi. Ruang yang bergerak diam-diam tapi konstan dan punya tujuan, menjadikan bahan bacaan sebagai sesuatu yang memikat, dengan upaya yang tidak sedikit, membuat buku dekat, dan lekat.

Pengalaman hadir di Patjar Merah Surabaya

Patjar Merah Surabaya, Dokumentasi Pribadi

Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi.

 Quotes dari Tan Malaka itu terpajang di jendela besar, dekat dengan pintu masuk, saat saya hadir dalam festival kecil patjar merah yang diselenggarakan Oktober 2022 lalu. Setelah sekian lama tidak punya waktu, dan uang tentunya, untuk hadir dan ikut membeli buku di sana, akhirnya kesempatan itu datang dan memberikan memori yang tak terlupakan. 

Patjar merah-lah yang menguatkan hati saya untuk terus membaca, menulis, dan menghidupi rasa "haus" yang terus ada ketika berbicara tentang buku. Salah satu yang paling membekas, adalah sesi menulis puisi bersama Theoresia Rumthe. Bagaimana idola saya yang hadir di depan mata saya ini mampu membius dengan cara-cara teatrikal namun berangkat dari hal-hal yang dapat menyentuh sisi personal sedemikian dalam. 

Rumthe hadir mengisi relung hati saya yang paling gelap, membuka memori tentang keluarga, kesedihan, dan rasa ingin menyerah yang dulu, dan mungkin kini, masih kerap saya rasakan. Betapa mengagumkan mendengar setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah puisi. Berima, pelan, tetapi peka, hingga membuat siapapun yang hadir dalam sesi ini merasa didengarkan. 

Ia menceritakan masa kecilnya lewat pasir, batu, dan ciki. Bertanya kepada seluruh peserta, "Kapan terakhir kali kamu merasakan kesenangan membuka plastik ciki?" atau "Batu dan kerikil merekam berbagai peristiwa, tuliskan dan tuangkan apa yang pertama kali ingin kamu ucapkan pada batu." Ah, kalau bisa, saya ingin sekali kembali pada sesi tersebut. Meski tidak secara langsung, tetapi saya justru merasa seperti sedang menjalani terapi psikologis, terapi yang mendinginkan kepala saya, sejenak melepas diri dari rutinitas. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline