Lihat ke Halaman Asli

Bonus Demografi: Fatin & Fatinistic?

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13797633961027629857

Pengantar Saya sebagai Fatinistic sangat bersyukur, ketika secara faktual Bangsa Indonesia memiliki visi-100 untuk menjadi negara yang maju baik dari segi ekonomi, politik, sosial dan hubungan internasional.  Visi-100 Indonesia ini dikumandangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sambutannya di Forum Pemimpin Redaksi di Bali, 14 Juni 2013

"Saya punya visi dan kita harap di tahun 2045 ekonomi kita betul-betul kuat dan berkeadilan, demokrasi kita semakin matang dan peradaban kita semakin maju"

Visi-100 Indonesia memiliki milestone tahun 2045. Itu berarti masih 32 tahun lagi.  Fatin akan berumur 49 tahun. Saya 48 tahun. Anda umur berapa? Tapi menurut analisis banyak pakar (Jacques Vallin, 2004; Peter Kasprowicz & Elisabeth Rhyne, 2013), milestone dimulainya era jendela demografi Indonesia adalah tahun ini (2013) hingga 32 tahun ke depan (2045). Williamson (2013), sang begawan ekonomi dunia juga menyebutkan bahwa Indonesia sedang dalam transisi ke jendela demografi. Dan tahun 2020 - 2035 adalah perkiraan masa puncak keemasan jendela demografi Bangsa Indonesia. Ini disebabkan Indonesia akan memiliki piramida penduduk yang ideal. Dimana lebih dari 55% penduduk Indonesia berada pada usia produktif dengan usia berkisar 20-59 tahun (Sofian Effendi, 2013; Jacques Vallin, 2004). Lihat grafik.

Proyeksi Era Bonus Demografi Indonesia (diadopsi dari Jacques Vallin, 2004 dan Ralp Hakkert, 2007)

Hal tersebut merupakan potensi yang dapat berdampak pada 3 kemungkinan yaitu, bonus (deviden), statis atau tidak ada perubahan, atau malah hal yang lebih menakutkan kutukan demografi. (Ralph Hakkert, 2007; Ian Pool, 2007) Menurut pemikiran versi pakar Indonesia, jendela demografi tersebut dapat menjadi bonus demografi bila profil penduduk Indonesia berkualitas. Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu penggarapan di berbagai bidang. Seperti yang tertera pada dokumen Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang disusun oleh Menko Perekonomian, Indonesia pada 2025 diprediksi menjadi kekuatan ekonomi 12 besar dunia dengan pendapatan perkapita USD 15.000. Konsekuensi Jendela Demografi Secara sederhana, bila benar kita berada dalam jendela demografi, berarti penduduk Indonesia didominasi oleh "orang muda". Jelas sekali bagi saya, semoga juga bagi anda, bahwa orang muda suka musik. Suka kerja. Suka sekolah. Suka pesta. Suka hura-hura. Dan berbagai atribut yang terkait dengan karakter "orang muda" dan "anak muda". Maka semestinya segala hal yang terkait dengan pasar seharusnya mengarah pada pangsa "muda": politik pemuda; produk untuk anak muda; musik anak muda; olahraga anak muda; dll. Sekali salah mengarahkan mereka, krisis atau huru-hara akan muncul dan hal ini bisa memunculkan chaos dan reformasi lagi (Hal Hill, 2013). Ini yang disebut kutukan demografi sebagai lawan pemaknaan bonus atau deviden demografi. Yang menarik juga disebutkan dalam prediksi UN (2004) tentang kependudukan dunia hingga 2050 adalah asumsi fertilitas perempuan menurun dari 2,8 anak per perempuan menjadi 1,85. Ini berarti perempuan Indonesia mungkin akan telat kawin, ikut KB atau terlalu sibuk kerja dan menunda untuk memiliki anak??? Konsekuensinya adalah kemungkinan meningkatnya jumlah konflik rumah tangga dan dekadensi moral remaja yang kurang perhatian orang tua dan kasih sayang. Ini bisa menghambat pada munculnya bonus demografi. Sedangkan Williamson (2013) memprediksikan bahwa ketidaksiapan  pemerintah memfasilitasi bibit unggul dari bonus demografi akan meningkatkan "brain drain" - yaitu kaburnya SDM unggul ke negara-negara yang mapan. Dan saya pikir, Anggun adalah sedikit contoh hengkangnya SDM Indonesia. Sangat mengerikan bila itu harus terjadi pada Fatin, apapun alasannya. Dan yang terjadi pada kami, anak muda, memilki benak "hebat" bila bisa sekolah di luar negeri, tinggal disana dan bekerja disana. Atau kami akan merasa hebat bila bekerja pada perusahaan asing. Bukankah ini memiliki pengertian yang mirip dengan jargon TKI" Pahlawan Devisa". Bila ini persepsi yang salah, seharusnya ada yang berusaha mencegah! Fatin, Fatinistic dan Bonus Demografi Dan tidak kalah pentingnya, orang muda membutuhkan pemimpin dan panutan. Untuk mengarahkan mereka.  Menjadi patron, tren, dan kebanggaan. Panutan yang menjadi motivasi. Memberikan alasan bagi orang muda untuk terus berkarya bahkan bila mereka menghadapi keadaan sulit. Mereka butuh imagi panutan tempat monolog dan berkeluh-kesah. Mereka butuh pemimpin sekaligus idola atau panutan untuk menuju bonus demografi dan visi-100 Indonesia. Pemimpin yang demikian dalam budaya Indonesia adalah kepemimpinan transformasional namun sekaligus pula kepemimpinan paternalistik populer. Pemimpin transformasional mendorong pengikutnya untuk melupakan kepentingan diri sendiri dan bergerak menuju cita-cita yang lebih besar - fulfilling. Ia membangun pengikut dengan harga diri. Pemimpin transformasional membentuk budaya organisasi mereka untuk mencerminkan nilai-nilai diantara mereka dan berbagi dengan mereka. Peran pengikut adalah untuk mengubah nilai-nilai menjadi tindakan nyata, fokus pada tujuan, mengkoordinasikan upaya-upaya individu dan menyatukan anggota kelompok. Lebih jauh, panutan (paternalistik populer) yang dimaksudkan adalah seseorang atau sekelompok orang, yang telah diakui oleh masyarakat luas (bahkan mungkin mendunia) berkat kontribusinya yang besar pada kemajuan bangsa, melalui karya dalam berbagai bidang kehidupan manusia, memiliki tingkat dipercaya yang tinggi dari masyarakat karena mempresentasikan nilai-nilai lokal dan perilaku kehidupannya akan menjadi panutan dan trend dalam masyarakatnya (Chun Pai Niu, 2009; Irawanto et al., 2011). Dalam pandangan RBV (Resource Based View), tokoh panutan seharusnya akan memiliki karakter VRIN - valuable, rare, imperfectly imitable, dan non-substitute (Jay Barney, 1991). Dengan demikian, panutan menjadi sesuatu yang dibutuhkan.  Dan untuk mengarahkan perilaku generasi muda Indonesia menuju visi 100 Indonesia, pada kenyataannya diperlukan munculnya tokoh panutan. Ini telah diteliti bahwa ada korelasi positif kepemimpinan paternalistik dengan demografi (Irawanto, 2012). Dibutuhkan Ilmuwan seperti BJ Habibie. Dibutuhkan Begawan Ekonomi seperti Mohammad Hatta, politikus ulung dan orator seperti Bung Karno dan Bung Tomo. Dibutuhkan karakter "Citius, Altius, Fortius", Rudi Hartono dan Susi susanti, Yayuk Basuki, Utut Adianto, dll. Dibutuhkan penyanyi hebat (diva-divo) seperti Broery Marantika, Anggun, Ebiet, Ruth Sahanaya.... dan tentu saja ............Faaatiiinnnnnnnnnn.....!, dan masih banyak dibutuhkan tokoh-tokoh panutan lainnya untuk mendorong budaya (termasuk budaya populer) yang berakar kuat pada budaya lokal Indonesia. Dengan demikian visi 100 Indonesia bukan saja mengarahkan kepemimpinan yang hanya difokuskan pada ranah pemerintahan dan perekonomian. Singkat kata, Indonesia perlu sejumlah sosok panutan yang dapat menginspirasi anak-anak, para remaja dan orang muda untuk bekerja keras meraih cita-cita dan berkontribusi pada pembangunan bangsa. Penutup Menuju Visi-100, Indonesia butuh sosok panutan. Panutan musik muda telah menghadirkan Fatin. Fatin sudah bekerja keras dan sudah menunjukkan profesionalismenya.  Setidaknya Fatin telah jadi benchmark bagi Fatinistic. Jumlah Fatinistic...pasti tidak sedikit. Dan bila hal ini akan mengarah pada diskursus jendela demografi, Fatinistic adalah mereka yang siap menyongsong BONUS DEMOGRAFI. Tunggulah...sedikit waktu lagi...kami akan selalu hadir dengan karya nyata! Bila Fatin dapat memenangkan hati penikmat musik, kami Fatinistic akan juga muncul untuk memenangkannya di banyak bidang yang masing-masing kami geluti.... Tetap cemungut..........dan Merdeka. Salam Simfatin Foyah.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline