Lihat ke Halaman Asli

Lintang Gantari Kristin P

Mahasiswa Arkeologi

Museum Krikilan yang Bukan Kerikil

Diperbarui: 8 Oktober 2024   13:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagian depan Museum Krikilan (Dokumentasi Pribadi)

"Sangiran itu setiap jengkalnya menyimpan rahasia alam dan kehidupan masa lampau." kira-kira begitu yang sering aku dengar dari dosen ataupun kakak tingkatku yang sudah melakukan ekskavasi (kegiatan penggalian yang dilakukan oleh arkeolog untuk mencari informasi yang detail tentang sebuah budaya dan peradaban masa lalu) di Sangiran. Ajaibnya, seorang Lintang yang jarang banget muncul di lingkup jurusannya, Arkeologi, bisa punya kesempatan untuk menjelajah alam Sangiran selama sepuluh hari. Cukup kaget, bukan hanya karena bisa menjelajah alam Sangiran, tetapi juga karena Sangiran itu panas banget (dibanding Jogja hehe). Tidak ingin menyia-nyiakan waktu yang terbatas, aku memanfaatkan waktu senggangku (hari terakhir juga sih..) untuk mengunjungi salah satu museum terbesar di Wilayah Sangiran, namanya Museum Manusia Purba Sangiran Kluster Krikilan. 

Museum Manusia Purba Sangiran Kluster Krikilan terletak di Jl. Sangiran Km. 4, Kebayanan II, Krikilan, Kec. Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Museum ini memiliki desain bangunan yang unik dan menyesuaikan dengan kebutuhan peneliti di masa depan, bentuknya tidak mendatar dan menutup seluruh tanah, tetapi dibuat bertingkat dengan akses yang melingkar dan memiliki jarak yang cukup jauh dari permukaan tanah. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi adanya ekskavasi jika ditemukan benda arkeologis di museum tersebut pada kemudian hari. Museum ini memiliki taman yang luas dan beberapa ruang pamer yang mengedukasi pengunjung mulai dari edukasi umum tentang bagaimana terbentuknya Sangiran hingga memamerkan tengkorak replika manusia purba dan informasi tempat penyimpanannya. Untuk mengunjungi museum ini, pengunjung hanya punya dua opsi, yaitu naik transportasi berbayar yang dikelola masyarakat atau berjalan kaki. Kenapa begitu? Karena pengelola museum menerapkan peraturan untuk memarkirkan kendaraan di tempat yang lumayan jauh dari kawasan museum sebagai ujung dari keterbatasan lahan parkir museum. 

Hari itu, panasnya Sangiran menyengat tubuhku, aku dan teman-temanku memutuskan untuk menggunakan transportasi yang dikelola oleh masyarakat. Dengan harga Rp5.000 kami dijemput dan diantar kembali ke tempat parkir tanpa perlu lelah berjalan kaki. Kendaraan yang aku dan teman-temanku gunakan untuk menuju Museum Krikilan cukup unik, kendaraan tersebut bisa dibilang mobil pick up yang dimodifikasi (ditambah tempat duduk, atap, dan penyangga)  sehingga cukup aman dan nyaman untuk digunakan sebagai transportasi. Menerjang panasnya Sangiran, kami berangkat menuju Museum Krikilan. Setelah menempuh perjalanan menggunakan pick up yang dimodifikasi sekitar lima menit, tibalah kami di Museum Krikilan. Kami langsung membeli tiket di loket museum seharga Rp15.000/orang dan dijelaskan tentang peraturan selama di museum. "Untuk masuk ke ruang pamer, bisa ke atas lalu belok kiri, ya kak" kata petugas loket sambil menunjuk ke arah tempat di belakang kami. Aku terkejut, "Hah?! Ada berapa anak tangga itu??!!" kataku sambil menatap ke tangga yang lumayan banyak itu. Untungnya, teman-temanku yang lain punya kondisi yang serupa denganku, kami semua kelelahan setelah berkegiatan selama sepuluh hari di Sangiran. Kami sempat mencoba jalur khusus difabel, jalurnya cukup landai dan cukup mudah diakses oleh pengunjung difabel.

Seperti yang dikatakan oleh petugas loket tadi, kami menuju ke arah kiri untuk mengunjungi ruang pamer pertama. "Ini belok kirinya di sini gak sih? Atau di depan situ ya?" tanya temanku yang berada di paling depan. "Di sini deh kayaknya" jawab temanku yang lain. Kami memutuskan untuk belok kiri dan berjalan agak jauh, "Loh ini kok keliatan kita makin naik ya?" tanyaku "Loh iya, itu kita bisa liat sapi sama sungai di bawah." jawab temanku yang lain. Ternyata, jalan menuju ruang pamer di seluruh museum ini memang dibuat seperti jalan naik yang melingkar sebagai upaya pencegahan jika di kemudian hari ditemukan temuan arkeologis di sekitar museum. Ruang pamer pertama memberi informasi seputar proses terbentuknya Sangiran. Proses pembentukan tersebut menghasilkan informasi lapisan stratigrafi (lapisan tanah yang memiliki ciri yang berbeda) yang menyimpan berbagai informasi seputar lingkungan Sangiran saat itu. Selain menceritakan asal usul Sangiran, ruang pamer ini juga memberikan informasi tempat ditemukannya fosil di Wilayah Sangiran dan para Mpu Balung (pelestari temuan tulang di wilayah Sangiran). Puas menjelajah ruang pamer pertama, kami melanjutkan perjalanan ke ruang pamer kedua.

Ruang pamer kedua berada di tempat yang lebih rendah dibanding ruang pamer pertama. Sayangnya, akses menuju ruang pamer kedua kurang ramah bagi pengunjung, terlebih lagi bagi pengunjung difabel. Satu-satunya akses yang dapat ditempuh pengunjung adalah melalui beberapa anak tangga yang lumayan curam dan tidak dilengkapi oleh gagang yang bisa dipegang oleh pengunjung. "Eits, tangganya belum selesai!" celetuk temanku sesaat setelah kami masuk ke ruangan. Ya, kami harus menaiki beberapa anak tangga lagi untuk mencapai ruang pamer. Ruang pamer kedua ini banyak bercerita tentang proses pembentukkan bumi, evolusi makhluk hidup, peneliti-peneliti paleoantropologi Indonesia, lapisan tanah Sangiran, kehidupan Homo Erectus, hingga beberapa objek interaktif. Beberapa infografis dan replika dipamerkan di ruangan ini. "Tapi ini ruangannya lebih banyak infografis dan tulisannya ya dibanding yang ruangan tadi." kata temanku yang sudah berada di ujung ruangan. Seperti yang temanku bilang, ruang pamer kedua tadi memang penuh dengan infografis sehingga kami tidak lama berada di ruang tersebut. Hal menarik yang bisa dijumpai pada ruangan ini adalah gading gajah besar yang dapat pengunjung sentuh. 

Diorama Manusia Purba (Dokumentasi Pribadi)

Ruangan selanjutnya menceritakan tentang kehidupan Pulau Jawa masa Pleistosen, sekitar 1.000.000-500.000 tahun yang lalu. "Nah, ruangannya kan enak kalo gini, banyak displaynya dibanding infografisnya." kata temanku sambil terengah-engah. Di ruangan ini terdapat beberapa display yang berukuran agak besar, seperti patung Homo erectus, rekonstruksi kelompok Homo erectus ketika berburu hewan untuk makanan, display artefak, dan replika kotak ekskavasi yang lengkap dengan alat-alat ekskavasi (termasuk form A,B,C). Sekilas informasi, dalam ekskavasi arkeologi, arkeolog harus mengisi tiga jenis formulir, yaitu formulir A, B, C. Seluruh formulir itu serupa dengan buku harian, tetapi  ini digunakan arkeolog selama melakukan kegiatan ekskavasi, arkeolog juga harus menggambar lho di formulir itu. Ruangan terakhir dari ruang pamer kedua menceritakan lebih detail tentang kehidupan manusia sekitar 20.000-5.000 tahun yang lalu. "Eh, itu rangka manusia?" tunjuk temanku. Ternyata, setelah ku lihat memang benar, itu adalah rangka manusia yang dipamerkan dengan model yang serupa dengan rangka tersebut ditemukan. Pengunjung dengan mudah melihat rangka tersebut karena disediakan tempat untuk berpijak. Puas mengunjungi ruang pamer kedua, kami dengan semangat menuju ruangan selanjutnya. 

Surprise! Setelah keluar dari ruang pamer kedua, kami harus menaiki tangga lagi untuk menuju ruang pamer ketiga. "Wih, dingin ruangannya, pengen di sini terus deh." kata temanku yang berada di depan pendingin ruangan. Ruang pamer ketiga menceritakan tentang masa keemasan Homo erectus. Ruang pamer ketiga ini cenderung lebih kecil dan dilengkapi oleh satu diorama besar tentang Homo erectus. Di ruangan ini juga terdapat beberapa replika tengkorak manusia purba. Kami hanya melihat koleksi sebentar dan lebih banyak menghabiskan waktu di depan pendingin ruangan. Tidak terasa sudah pukul 13.00, perut kami sudah bergejolak. "Lapeerrr, ayo makan soto!" ajak temanku, akhirnya kami keluar dari ruang pamer dan berfoto sebentar di depan tulisan museum. Setelah itu kami segera turun dan menuju warung di depan museum untuk membeli soto, tapi dalam bentuk mie instan. Tak apa mie instan, yang penting soto dan kenyang. 

"Wah, itu toko souvenirnya lucu, ayok ke sana!" kata temanku sambil menarik tanganku. Toko tersebut menjual beberapa kerajinan tangan khas Sangiran yang terbuat dari batu-batu khusus yang hanya dijumpai di Sangiran. "Dek, ini harga batunya mahal lho." kata pedagang sambil menyodorkan batu carnelian (salah satu jenis batu beku yang biasa dijadikan batu akik) . "Lah, kemarin banyak tau pas ekskavasi." kataku sambil berbisik ke kawanku yang lain. "Menyesal..harusnya kita bawa batu kemarin ya, kita jual, balik modal kita." timpal kawanku. Perjalanan kami di Sangiran ditutup dengan berbelanja gantungan kunci, kalung, dan gelang, juga tidak lupa es teh, sumber kehidupan menerjang panasnya Sangiran!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline