Lihat ke Halaman Asli

Lintang Anindya Sari

Mahasiswa Pariwisata UGM

Optimalisasi Peran Gotong Royong dalam Pembangunan Karakter

Diperbarui: 4 Oktober 2021   10:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Tradisi gotong royong pada kehidupan bangsa Indonesia merupakan salah satu budaya yang menjadi poin penting dalam kehidupan bermasyarakat. Budaya gotong royong ini memiliki nilai positif apabila aspek-aspek di dalamnya dapat diterapkan dengan baik. Gotong royong merupakan bentuk kerja sama antar kelompok masyarakat untuk mencapai suatu tujuan dengan mengedepankan kepentingan bersama diatas kepentingan individu. Implementasi gotong royong dalam kehidupan sehari-hari dapat mempengaruhi pengembangan karakter seseorang. Hal tersebut dikarenakan, nilai-nilai positif dari gotong royong dapat menumbuhkan semangat persatuan antar kelompok, meningkatkan solidaritas masyarakat, menyatukan berbagai pemikiran ide-ide, dan menumbuhkan jiwa kepemimpinan sehingga perlu dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari. Konversi nilai gotong royong pada masa kini akan tetap relevan. Oleh karena itu, melalui pentingnya penerapan nilai-nilai gotong royong akan berpengaruh besar terhadap pembentukan karakter seseorang.

  • Gotong  Royong

Gotong royong berasal dari bahasa Jawa. Kata ‘gotong’ bisa diartikan dengan kata pikul atau angkat, sedangkan kata ‘royong’ dapat diartikan dengan bersama-sama. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa gotong royong secara sederhana berarti mengangkat sesuatu secara bersama-sama atau dapat juga diartikan melakukan sesuatu bersama-sama. Wujud gotong royong dapat beraneka ragam, misalnya mengangkat meja yang dibuat bersama, membersihkan selokan yang dilakukan oleh warga RT, dan lain-lain. Sedangkan kegiatan pengabdian kepada masyarakat biasanya dilakukan untuk melakukan hal-hal yang bersifat kepentingan umum, yang dibedakan antara gotong royong yang diprakarsai warga dan gotong royong yang dipaksakan. Sejarah gotong royong di Indonesia sangat akrab disebut dengan gotong royong, sebagaimana Kaelan (2013: 59) menyatakan bahwa semangat gotong royong mengekspresikan cita-cita demokrasi, solidaritas, dan solidaritas sosial. Hal ini diperkuat dengan cerita yang mengatakan bahwa penyederhanaan Pancasila yang pada hakekatnya adalah gotong royong, Kaelan  (2013: 25) bahwa ada lima (5) asas sebagai dasar negara kemudian dipadatkan oleh Soekarno dalam Trisila yang memahami sosionasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan. Kemudian mengusulkan agar Trisila dapat diremukkan menjadi Ekasila yang pada dasarnya berarti gotong royong. Bintarto (1980) mengemukakan korelasi gotong royong sebagai nilai budaya nilai dalam sistem budaya Indonesia mengandung empat (4) konsep, yaitu manusia tidak sendirian di dunia ini, tetapi mereka dikelilingi oleh masyarakat, manusia saling bergantung dalam segala aspek kehidupan, mereka harus selalu berusaha untuk menjaga hubungan baik satu sama lain, dan selalu berusaha untuk berlaku adil satu sama lain.

Budaya gotong royong merupakan bagian dari kehidupan kelompok masyarakat Indonesia dan merupakan warisan budaya bangsa. Nilai dan perilaku gotong royong bagi masyarakat Indonesia sudah menjadi way of life, sehingga tidak dapat dipisahkan dari aktivitas kesehariannya. Gotong royong menjadikan kehidupan kelompok masyarakat Indonesia lebih sejahtera dan sejahtera. Dengan adanya kegiatan gotong royong, berbagai masalah kehidupan bersama dapat diselesaikan dengan mudah dan ekonomis, serta sebagai kegiatan pengembangan masyarakat. Mewujudkan nilai gotong rotong dalam kehidupan masyarakat melibatkan persamaan, keadilan, solidaritas, kepedulian, dan mengacu  pada kepentingan bersama. Oleh karena itu, terdapat aspek pemberdayaan dalam gotong royong yang dimana dapat dimaknai dalam konteks pemberdayaan masyarakat (Pranadji, 2009:62), karena dapat membangun modal sosial untuk membentuk kekuatan kelembagaan dalam masyarakat, negara, dan komunitas transnasional Indonesia untuk mencapai kesejahteraan. royong mengandung makna aksi kolektif perjuangan, otonomi, tujuan bersama, dan kedaulatan.

Dari segi sosial budaya, nilai gotong royong adalah semangat yang memanifestasikan dirinya dalam bentuk perilaku individu atau tindakan tanpa pamrih (pending return) untuk melakukan sesuatu bersama demi kepentingan bersama atau individu tertentu. Petani bersama-sama membersihkan saluran irigasi menuju sawahnya, masyarakat gotong royong membangun rumah warga yang terkena puting beliung, dan sebagainya. Budaya gotong royong merupakan cerminan dari perilaku yang menjadi ciri bangsa Indonesia sejak zaman dahulu. Soekarno pernah mengusulkan Pancasila, bahkan beliau menyimpulkan Pancasila sebagai gotong royong. Perasaan mendasar negara Indonesia adalah semangat gotong royong. Soekarno memberikan pemahaman tentang  negara gotong royong bagi rakyat Indonesia. Berbagai persoalan tersebut ditelaah dalam kerangka negara gotong royong menurut Soekarno, sehingga persoalannya menjerumuskan: (1) apa sebenarnya gagasan gotong royong yang diusung oleh Soekarno (dalam sejauh mana pemahaman gotong royong ini digunakan sebagai intisari Pancasila) dan  (2) bagaimana kita dapat mengkontekstualisasikan semangat gotong royong seperti yang dicita-citakan Soekarno saat ini untuk Indonesia yang lebih baik. Bagi masyarakat Indonesia, gotong royong tidak hanya penting sebagai perilaku, tetapi juga sebagai nilai moral.

  • Pengembangan Karakter

Pengembangan karakter bangsa merupakan rangkaian pertumbuhan dan perubahan perusahaan yang secara sadar direncanakan dan dilaksanakan oleh seluruh warga suatu bangsa, negara dan pemerintah menuju  modernitas dalam rangka pembangunan bangsa. dalam arti yang menyedihkan. Misalnya sikap religius, kebaikan, kesabaran, saling menghargai, dan mengutamakan. Sekarang ia cenderung ke arah yang destruktif dalam melakukan kegiatan sosial. Sebagai bagian dari pendidikan karakter sudah mengakar dalam sejarah yang panjang. Oleh karena itu, mempelajari sejarah merupakan bagian penting untuk menemukan kearifan tersebut dan wajar apabila dikatakan bahwa guna sejarah yang pertama adalah sebagai pelajaran (Hariyono, 1995) atau meminjam istilahnya Kuntowijoyo (2005), bahwa relevansi sejarah sebagai pendidikan karakter adalah sebagai pendidikan moral dan pendidikan kebijakan. Pendidikan karakter yang sudah mengakar dalam sejarah yang panjang tersebut, dengan demikian dapat dikatakan juga sebagai sebuah proses enkulturasi dari budaya lokal yang ada (Soekanto, 1993: 167). Karena begitu pentingnya jati diri bangsa ini untuk membangun karakternya, maka paling tidak setelah Indonesia merdeka sampai saat ini, lagi-lagi seperti yang diharapkan founding father kita, yaitu selain membangun bangsa dari segi politik, ekonomi, infrastruktur, dan yang lebih penting lagi dan diakui yaitu membangun karakter bangsa.

Secara kontinue, mulai dari ekonomi, infrastruktur dan lain sebagainya, pembangunan karakter bangsa harus dan sangat perlu untuk ditingkatkan. Pengembangan karakter bangsa merupakan rangkaian pertumbuhan dan perubahan perusahaan yang secara sadar direncanakan dan dilaksanakan oleh seluruh warga suatu bangsa, negara dan pemerintah menuju modernitas dalam rangka pembangunan bangsa. dalam arti yang menyedihkan. Misalnya sikap religius, kebaikan, kesabaran, saling menghargai dan mengutamakan. Sekarang ia cenderung ke arah yang destruktif dalam melakukan kegiatan sosial. Di era yang semakin maju ini, dimana arus perkembangan ilmu dan teknologi sudah sedemikian canggih, segala akses dapat dengan mudah didapatkan, tentunya membawa pengaruh yang cukup besar terhadap sikap dan kepribadian suatu bangsa, serta diikuti dengan perubahan tatanan nilai dan norma yang berlaku dalam suatu masyarakat. Karakter dikembangkan melalui tahap pengetahuan (knowing), pelaksanaan (acting), dan  kebiasaan (habit). Karakter tidak terbatas pada pengetahuan saja. Seseorang yang memiliki pengetahuan kebaikan belum tentu mampu bertindak sesuai dengan pengetahuannya, jika tidak terlatih (menjadi kebiasaan) untuk melakukan kebaikan tersebut. Karakter juga menjangkau wilayah emosi dan kebiasaan diri. Dengan demikian, diperlukan tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling (penguatan emosi) tentang moral, dan moral action (perbuatan bermoral).

  • Moral feeling merupakan penguatan aspek emosi peserta didik untuk menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harus dirasakan oleh peserta didik, yaitu kesadaran akan jati diri (conscience), percaya diri (self esteem), kepekaan terhadap derita orang lain (emphaty), cinta kebenaran (loving the good), pengendalian diri (self control), serta kerendahan hati (humility).
  • Moral action merupakan perbuatan atau tindakan moral yang merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter yaitu kompetensi (competence), keinginan (will), dan kebiasaan (habit). Pengembangan karakter dalam suatu sistem adalah keterkaitan antara komponen-komponen karakter yang mengandung nilai-nilai perilaku, yang dapat dilakukan atau bertindak secara bertahap dan saling berhubungan antara pengetahuan nilai-nilai perilaku dengan sikap atau emosi yang kuat untuk melaksanakannya, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional. Kebiasaan berbuat baik tidak selalu menjamin bahwa manusia yang telah terbiasa tersebut secara sadar menghargai pentingnya nilai karakter (valuing). Oleh karena itu dalam pengembangan karakter diperlukan juga aspek perasaan (domain affection atau emosi). Komponen ini dalam pengembangan karakter disebut dengan “desiring the good” atau keinginan untuk berbuat kebaikan. Pengembangan karakter yang baik dengan demikian harus melibatkan bukan saja aspek “knowing the good” (moral knowing), “desiring the good” atau “loving the good” (moral feeling), dan “acting the good” (moral action). Tanpa itu semua manusia akan sama seperti robot yang terindoktrinasi oleh sesuatu paham.

Seperti yang diungkapkan sebelumnya bahwa gotong royong sudah menjadi karakter yang mendarah daging dalam setiap warga Indonesia. Maka jika sudah tidak sepaham dengan kegotong royongan itu maka akan menjadi orang yang salah dan dikucilkan, tanpa memperdulikan pilihan sendiri. Gotong royong begitu kompleks dalam dunia modern seperti saat ini. Karena mungkin saja perbuatannya tersebut dilandasi oleh rasa takut untuk berbuat salah, bukan karena tingginya penghargaan akan nilai itu. Misalnya ketika seseorang berbuat jujur hal itu dilakukan karena dinilai oleh orang lain, bukan karena keinginannya yang tulus untuk mengharagi nilai kejujuran itu sendiri

-

DAFTAR PUSTAKA

Alawiyah, F. (2012). Kebijakan dan Pengembangan Pembangunan Karakter melalui Pendidikan di Indonesia. Aspirasi: Jurnal Masalah-Masalah Sosial, 3(1), 87-101.

Ancok, D. (2003). Modal sosial dan kualitas masyarakat. Psikologika: jurnal pemikiran dan penelitian psikologi, 8(15), 4-14.

Anggorowati, P., & Sarmini, S. (2015). Pelaksanaan Gotong-Royong di Era Global (Studi Kasus di Desa Balun Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan). Kajian Moral dan Kewarganegaraan, 1(3), 39-53.

Bintari, P. N., & Darmawan, C. (2016). Peran pemuda sebagai penerus tradisi sambatan dalam rangka pembentukan karakter gotong royong. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, 25(1), 57-76.

Coleman, J. S. (1994). Foundations of social theory. Harvard UniversityPress.

Dewantara, A. W. (2016). Gotong-royong menurut Soekarno dalam perspektif aksiologi Max Scheler, dan sumbangannya bagi nasionalisme Indonesia (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).

Dewantara, A. W. (2017). Alangkah hebatnya negara gotong royong: Indonesia dalam kacamata Soekarno. PT Kanisius.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline