Pernahkah kita membayangkan kuliah di perguruan tinggi ternama semacam ITB, UI, UGM, atau apapun namanya tanpa perlu ke kotanya ? Tanpa harus susah payah merantau naik pesawat/kapal/bus atau kendaraan pribadi. Tanpa harus bayar kost-kostan tiap semester, tanpa perlu harus hunting makanan setiap hari, dan tanpa berpisah dengan orang tua ? Lebih enak lagi kita bisa kuliah sambil menunggu gorengan pisang dan secangkir coklat/kopi panas yang dibuatkan ibu ? Cukup di rumah saja.
Sepertinya belum, meskipun sejak 1984 sebenarnya sudah ada Universitas Terbuka yang yang telah menerapkan kuliah jarak jauh. Tapi karena lengkapnya pilihan Program Studi dan prestise dari lulusan-lulusan PT ternama yang menjadi daya tarik tersendiri, membuat kuliah jarak jauh (dan ke depan on line) belum menjadi alternatif utama bagi lulusan baru SMA/MA/SMK untuk melanjutkan studi. Dari tahun ke tahun dengan versi pintu masuk apapun Sipenmaru, PMDK, SPMB, Mandiri, Internasional, dan UTBK puluhan ribu lulusan Sekolah Menengah berlomba-lomba saling bersaing memperebutkan kursi-kursi kuliah di seluruh perguruan tinggi di tanah air. Setelah diterimapun, para calon mahasiswa baru masih bersaing mengembara ke kota pelajar tujuan masing-masing untuk mengisi ruang-ruang kemasyarakatan di tempat di mana PT-nya berlokasi.
Tidak bisa dipungkiri para mahasiswa itulah yang ikut menghidupkan roda ekonomi di tempat kuliahnya. Setiap saat selalu saja muncul pertanyaan berapa banyak dana yang berhasil diserap oleh daerah. Berapa rumah kost/kontrakan yang kamar-kamarnya terisi oleh geliat anak kuliah ? Berapa banyak warung-warung yang dapurnya mengepul karena melayani sarapan anak kost ? Berapa banyak usaha yang bergerak dari aliran dana para orang tua dari seluruh kampung, lembah, dan desa kepada anaknya yang sedang mengenyam pendidikan di kota ? Mulai jasa foto copy, tempat servis motor/mobil, tukang potong rambut/salon, toko pakaian, toko buku dan alat tulis, sewa/toko komputer, laundry, cafe/tempat makan + internet dan tempat hiburan. Dan masih banyak lagi detil kehidupan masyarakat yang menjadi bergairah karena interaksi dengan generasi penerus bangsa tersebut.
Di sisi lain untuk mendukung perkuliahan dan penelitian yang berkualitas PT harus menyediakan fasilitas yang cukup untuk melengkapi sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Ruang kuliah yang memadai. Ruang praktikum yang sesuai dengan kebutuhan lengkap dengan semua peralatan praktikum yang modern dan lengkap. Selain itu juga ditunjang dengan bengkel serta teknologi informasi yang upto date dan mumpuni baik dari software maupun hardware.
Sebenarnya model kelas IT untuk SMP/SMA di tahun 2010-an pernah dikenalkan di SMA dan model kuliah on line sebenarnya sudah ramai dikenalkan sebelumnya, seperti konferensi jarak jauh, seminar dan diskusi on line, tetapi seiring pandemi covid 19 PT dan sekolah dipaksa menerapkan kuliah atau pembelajaran daring (on line) untuk semua mata kuliah dan pelajaran. Untuk kuliah yang bersifat praktikum/penelitian memang masih harus secara fisik bertatap muka. Itupun harus menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
Dengan segala kesulitan dan kendala perkuliahan daring selama beberapa bulan terakhir, ke depan kita disadarkan tentang kemungkinan penggunaan kuliah daring (on line) untuk semua transfer pengetahuan termasuk penggunaan virtual laboratory untuk kelas-kelas praktikum, sebagai standart baru dalam dunia pendidikan, sebagai bagian dari new normal. Tentu saja semua itu harus didukung oleh teknologi informasi yang baik serta akses internet yang cepat dan stabil.
Pergeseran metode transfer ilmu yang sudah terjadi dapat dilihat dari pendidikan di tingkat SMA/SMP. Di masa lalu fasilitator pendidikan ada di tangan guru. Seiring perkembagan jaman diakui atau tidak sebagian tugas fasilitator diambil alih oleh para mentor lembaga bimbingan tes. Bahkan suatu hal yang biasa jika untuk mempersiapkan para siswanya menghadapi UN, pihak sekolah bekolaborasi dengan lembaga sains (bimbingan tes) tertentu untuk memberikan pendampingan. Sebagian bimbingan tes juga sudah memanfaatkan metode belajar jarak jauh walaupun belum full on line dan real time.
Fenomena inipun berkembang lebih lanjut dengan mulai banyaknya para penggiat pendidikan yang menshare materi pelajaran di google dan media on line lain, termasuk para youtuber. Materi tersebut meliputi materi pelajaran berbentuk file pdf, power point, dan video pembelajaran. Terlebih dengan munculnya Lembaga Pembelajaran/Bimbingan Tes berbayar yang menawarkan bimbingan belajar secara daring/on line. Model pembelajaran on line inilah yang sangat mungkin secara perlahan akan merubah wajah pembelajaran sekolah dan bimbingan belajar konvensional. Untuk itu pula sangat wajar jika muncul "Ruang Belajar" yang digagas Kemendikbud, sebagai tempat pengembangan metode pembelajaran berbasis IT bagi para guru.
Berkaca pada hal tersebut sangat mungkin 10 atau 15 tahun lagi pembelajaran on line akan maju pesat dan bangunan fisik megah tempat kuliah Perguruan Tinggi terkenal itu akan banyak berkurang karena model kuliah teori dan praktikum yang tidak membutuhkan lagi tempat besar, representatif, dan khusus. Namun jika benar kita akan dimudahkan dengan adanya kuliah daring, lalu dimanakah para calon generasi muda kita mengup grade pengetahuan, skill dan kompetensinya secara jarak jauh. Lalu berapa banyak yang hilang dari proses "persiapan" mereka untuk menjadi tunas bangsa ? Apakah proses adaptasi sosial dan penguatan karakter yang muncul dari interaksi komunitas yang selama ini terjadi bisa tergantikan secara on line ? Via medsos atau jalur komunikasi resmi on line.
Dan berapa banyak rantai ekonomi di kota-kota pelajar yang redup gaungnya karena berkurangnya aktifitas mahasiswa secara fisik ? Apakah revolusi indutri 4.0 juga segera menerpa dunia pendidikan, khususnya perguruan tinggi dengan segala eksesnya, sebagaimana transportasi umum, jual beli , dan industri jasa lain?
Tapi setidaknya, hari ini saya bisa bermimpi anak saya bisa kuliah di ITB/UGM cukup dari huma di atas bukit sambil menjaga ladang jagung. Tidak perlu jauh-jauh nyebrang pulau....