Lihat ke Halaman Asli

Dear mbEn...

Diperbarui: 4 Agustus 2020   03:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sore beranjak dewasa ketika mas Budi  mengajakku berkunjung ke terasmu. Semula aku tak tahu kenapa waktu itu dia begitu tergopoh-gopoh ketakutan mengejar bayangannya sendiri, di senja yang landai. Sedangkan pelatihan Pramuka baru saja dimulai dan kami harus bertanggung jawab atas para yunior. Sepertinya ada yang tengah dia perjuangkan. Ada yang sedang dia kejar di antara putaran roda motornya. Tapi terasa ada yang tertinggal entah di garis ke berapa. 

"Tolong katakan sesungguhnya, bahwa tak ada hubungan apapun antara aku dan Sinta. Agar Ningsih mengerti," ucapnya berharap di atas sadel CB 100-nya. 

Waktu itu aku cuma mlongo. Batinku, arep diajak neng ngendi. Kok ke timur terus belok ke selatan ? Motore digas kenceng, rem-e dikendhoni. Padahal meski aku tahu kalian isunya pacaran, aku ora ngerti urusane. Pacar mas Budi siapa, wajahnya seperti apa, dan masalahnya apa. Kok bisa-bisanya aku diseret-seret untuk menjelaskan. Memange sing selingkuh sapa ? Ora urus. Apa gini ini ya polahe wong kasmaran ?

Sesampai rumahmu yang ternyata hanya beberapa gang dari rumahku, dalam dua ketukan, wajah ranummu menyembul dari pintu kayu rumahmu. Raut bulat, rambut di atas bahu, kulit putih, dan mata oriental tersenyum dengan ramah....... Wow pantesan si mas tergesa-gesa. Ini ta bidadari kebun kopi lereng gunung Wilis yang menjorok ke timur.  Sosok anggun yang berjingkat dengan pelan. 

Aku tak mendengar suara lirihmu mempersilahkanku duduk. Aku juga lupa warna rokmu. Yang terdengar hanya gumaman mas Budi yang terus menjelaskan pembelaan pribadinya sambil berjalan dari depan pintu, ndremimil  hingga pantatku terhempas ke kursi. Narasi tentang kalian dan Sinta. Namun aku terus menatap ponimu, dan tetap tak kumengerti apa yang mengular dihatiku. Yang jelas senyum lembutmu meredupkan mentari sore hari.  Sementara anginpun enggan bernafas. 

"Ayo ceritakan dik," minta mas Budi di saat kebekuanku padamu tak sempat aku simpulkan menjadi romantisme yang mengendap.  Akhirnya aku bicara tanpa makna dan logika, bla...bla...bla, sambil sesekali melirih tatapanmu yang teduh.

Senja itu.... Di saat mentari tempias di wajahmu... matamu menyipit. Di teras rumahmu, aku hanya berkedip sesaat ketika kami beranjak pulang. Tatapanmu sulit terlupa, meski angin barat berdenging dari musim ke musim, dan sosokmu tertelan rasa yang lain.  Di atas boncengan motor aku tetap ragu debar siapa yang mengalun perlahan tak berujung

Mbakyu........ engkau tahu paginya aku menulis sebuah puisi untukmu, meski aku tak mengenalmu. Namun hingga dirimu lulus SMA meninggalkan kami dalam ketertakjubanku pada bulat wajahmu  dan tatapanmu yang lembut bertutur, puisi itu tak pernah terbit di mading sekolah. Hingga puluhan tahun kemudian, di saat dengan tetap lembutnya dirimu menuturkan perjalanan puisi-puisi mas Budi dan denting bunga-bunga yang berguguran di antara kalian, serta kata putusmu padanya. Hanya satu semester setelah aku menemukan senyumanmu di teras itu.

[Ketika waktu terus mengalir kita dipertemukan kembali melalui medsos. Senyummu tetap lembut. Kecantikanmu tumbuh dewasa. Sayangnya  tetap saja aku tak mengerti debar siapa yang mengalun perlahan. Bedanya sekarang aku sadar di mana ujungnya, meskipun dirimu ingin satu puisi.  bukan dari dia...]    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline