Lihat ke Halaman Asli

Pondok Kecil

Diperbarui: 7 Januari 2016   14:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pondok ini hampir di tengah sawah. Kanan, kiri, belakang sawah. Gubuk sederhana yang hanya cukup untuk berteduh menahan dingin dan merebahkan kantuk menjadi mimpi indah. Bentuknya yang simple dan di pinggiran pedesaan membuat suasana tentrim begitu ngungun di tengah kegelapan dan sunyi yang menabuhi malam. 

Saat gelap datang, hewan sawah dan gumuk berhamburan mengetuk kaca jendela dan bertamu tanpa tatakrama. Jangkrik, walang sangit, katimumul, walang kadung, laron, orong-orong, ampal, dan sekali waktu lawa..... Pokoknya hampir lengkap; semuanya menyasar setiap lampu di rumah. Mereka seolah bercanda menemani rasa lelah yang terkadang tak tertahankan. Apalagi kalau walang sangit mulai menebar parfumnya, dunia seolah dipenuhi kabut mistik yang ngedumel. 

Namun, di sela galau karena hiruk pikuk para serangga, hidup ini terasa indah disuguhi musik para jangkrik. Gesekan sayapnya saat menagih cinta para jangkrik betina seolah berlomba dengan suara gergaji sayap-sayap ampal. Mejengking gelap, nyaring ditimpa wangwung dan digongi senggakan kodok kungkong. Meski asing, tapi sempurna di tengah sepi pucuk padi yang belum ranum, simponi mereka menyayat hingga relung-relung renungan. 

Di antara sekian kehidupan malam di teras atau di halangan tengah, sentuhan paling anggun terbersit dari seekor kunang-kunang. Entah dari mana asalnya. Hadirnya tak terduga.... kunjungannya   yang lembut di malam ngelangut memberi kutipan indah dari bumbungan rumah. Sinar di ujung hatinya berpendar memberi arti manis pada tatapannya. Dia mempunyai mimpi sendiri. Terbang mandiri.  Tak perduli seekor ampal yang puluhan tahun menatapnya takjub di pucuk kelapa, seolah ingin mempersuntingnya; asyik menunggunya di tikungan waktu. Bahkan di geretan suara sayapnya yang berat, ampal itu berkali tak lekang berguman

"Andai aku mempunyai sinarmu. Aku tak akan jatuh di setiap musim. Di hati yang serupa, hanya karena gelap yang merambat sejak itu"

Kunang-kunang..... malammu telah turun. Bertandanglah, karena hujan sedang terlelap. Mendung tengah jengah menggantung. Mari bicara.....meskipun terbata. Ayo bersitutur di teras rumah sambil sesekali menyimak lintang ing tawang.  

"...yen ing tawang ana lintang...

cah ayu

aku ngenteni tekamu..."

Mumpung jembar kalangan-ne. Ceritakan soulmate-mu, bisikkan teduh sarangmu, dan paparkan rasa bahagiamu. Dengan sepenggal kisahmu, setidaknya aku bisa merasakan do'a terindahmu bagi kunang-kunang muda yang tengah engkau ajari terbang, dan yang sedang mencoba memaknai setiap cahaya dari kalbu masing-masing. Lalu biarkan saja ampal itu mengembara dan terus berharap sinarmu.  

Jika sayapmu lelah, rebahlah di daun-daun melati. Dia akan memberimu rasa nyaman dari kelopak hati yang merebak hingga pagi. Lalu pejamkan matamu, dan biarkan sinar lintang di langit menjagamu hingga sayapmu kembali kuat untuk pulang ke sarang, karena selama ini dia selalu terjaga tanpa pernah melukai.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline