Lihat ke Halaman Asli

Bandar Lampung Menjadi Kota Cerdas dan Mandiri, Mungkinkah?

Diperbarui: 28 Juni 2015   13:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selamat kepada Kota Bandar Lampung yang pada tanggal 18 Juni ini merayakan hari jadinya ke-333 tahun ! Menjadi spesial karena di hari jadi tahun ini – bertepatan dengan awal bulan Ramadhan 1436 H. Secara hitung-hitungan kalender, jarang-jarang momentum seperti ini terjadi (hari jadi kota dan awal bulan puasa berbarengan).

Sedangkan secara angka, berbanggalah kita. Sebab rupanya Kota Bandar Lampung nan tercinta ini telah berusia lebih dari tiga abad. Artinya jelas bahwa kota berjuluk tapis berseri ini bukanlah kota kemarin sore. Mengingat pula status atau posisi Kota Bandar Lampung yang bukan sekedar kota biasa, melainkan ibukota provinsi atau pusat kota dari Provinsi Lampung.

Menurut saya, idealnya dari sebuah kota tua (yang maju dan terus berkembang serta kaya pengalaman) sekaligus sebagai ibukota (pusat pemerintahan, perekonomian dan perdagangan) ialah tertib dari sisi kehidupan masyarakatnya. Akses transportasi publik yang mudah dan terkelola secara baik serta terjangkau ongkosnya.; dan pelayanan publiknya profesional. Lantas bagaimana dengan Bandar Lampung kita ? Sudahkah demikian ?

 

Antara Byarpet, Macet dan Gagalnya BRT

Percaya nggak, satu hari menjelang HUT Kota Bandar Lampung ke-333, kota ini dilanda dua kali mati lampu dalam sehari (subuh dan sore tanggal 17 Juni kalau di tempat saya). Terkait dengan apa penyebab mati lampu, saya tak tahu kenapa. Toh sudah menjadi rahasia umum bila Bandar Lampung kerap mengalami byarpet. Malah bisa dibkin parodi; jika tempat tinggal Anda tidak sering mengalami byarpet, maka pasti Anda tinggal di Jakarta. Jika tempat tinggal Anda sering mengalami byarpet maka artinya Anda pasti tinggal di Bandar Lampung. Versi lain ? Anda belumlah menjadi warga Bandar Lampung bila belum mengalami byarpet hingga berbulan-bulan.

Selain tak tahu apa penyebabnya, saya juga tidak tertarik mengetahuinya. Paling-paling dalih klasik yang digunakan oleh PLN untuk menjawab keluhan persoalan byarpet ini; sedang ada maintenance di PLTA anu, debit air yang surut dikarenakan memasuki musim kemarau; ada gardu listrik yang terbakar atau mengalami kerusakan – yang intinya menolak disalahkan dan warga dituntut selalu memaklumi.

Sebelas dua belas, pihak pemerintah kota (pemkot) Bandar Lampung juga demikian. Pada akhirnya terjadilah saling lempar tanggung jawab dan kesalahan di antara kedua perwakilan pemerintah ini. Tinggalah warga Kota Bandar Lampung yang gigit jari meratapi nasibnya tinggal di kota yang rajin byarpet. Mereka (para warga kota) ibarat pasien yang harus menegak obat dari dokter dengan dosis tiga kali dalam sehari.

Lalu, sudah menjadi rahasia umum juga bila lalu lintas Kota Bandar Lampung selalu mengalami kemacetan. Titik-titik kemacetan ini nampak sekali di jalan-jalan protokoler kota semisal Jalan Raden Intan, Jalan R.A. Kartini, Jalan Teuku Umar – tepatnya di pagi dan sore hari – yang merupakan jam-jam berangkat kantor atau sekolah dan pulang kantor atau sekolah. Berdasarkan catatan dari Dirjen Perhubungan Darat, pada 2007 di Bandar Lampung terdapat 921.521 unit sepeda motor dan 73.272 unit mobil penumpang. Jumlah ini bertambah signifikan di 2010, dimana menurut catatan Dipenda ada pertambahan kepemilikan sepeda motor di Bandar Lampung sebanyak 327.180 unit (hingga Maret 2010) dan pertambahan 99.498 unit untuk kendaraan roda empat (Tribunnews Palembang, 11 Oktober 2010). Data di atas menunjukkan kendaraan di Bandar Lampung didominasi oleh kendaraan beroda dua (motor). Sementara luas jalan di Kota Bandar Lampung hanya 3670 kilometer (jalan arteri). Jelas ini tidak sebanding. Meskipun ada pertambahan lebar ruas jalan, kenyataannya tidaklah mengurangi kemacetan yang terjadi.

Pemkot lantas memutuskan membangun jalan layang/ flyover di sejumlah titik Kota Bandar Lampung. Pembangunan flyover difokuskan untuk mengatasi kemacetan lalu lintas kota sekaligus menambah kilometer jalan kota. Sampai saat ini telah ada tiga flyover yang beroperasi. Dana pembangunan flyover itu menghabiskan ratusan milyar rupiah. Menurut rencana yang sedang berjalan, ada dua flyover lagi yang saat ini sedang dikerjakan pembangunannya.

Namun beroperasinya flyover tadi jika dilihat dari konteks mengurangi kemacetan, juga tidak mempengaruhi. Sebab kondisionalnya, Kota Bandar Lampung tetap saja macet lalu lintasnya. Alih-alih mengurangi atau mengatasi kemacetan, adanya flyover jadi menimbulkan problem baru. Seperti masalah debu dari tanah proyek flyover; banyak usaha warga (ruko atau toko) yang akhirnya sepi pembeli dan gulung tikar juga lantaran debu-debu tadi kerap berterbangan mengotori tempat usaha mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline