Lihat ke Halaman Asli

Riau, Mahakam dan Kesejahteraan Migas Kita

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam (SDA) dan sumber daya mineral (SDM); dan diantaranya kekayaan yang ada itu – tersebutlah minyak bumi sebagai salah satu dari banyaknya SDM yang kita miliki. Dulu bangsa kita tercatat menjadi anggota OPEC berkat simpanan minyak bumi-nya yang melimpah.

Kini – meskipun tak lagi berstatus anggota OPEC – tetap saja eksplorasi minyak bumi dilakukan oleh bangsa kita. Merujuk pada salah satu acara nangkring bareng Kompasiana beberapa waktu lalu; dari sekian luasan wilayah di pertiwi kita – daerah Mahakam atau lazim disebut Blok Mahakam merupakan salah satu yang sampai kini masih potensial dieksplorasi sumber minyaknya.

Menyebut Blok Mahakam yang berada di Pulau Kalimantan, tepatnya Kabupaten Kalimantan Timur, membuat saya menerawang jauh ke Provinsi Riau. Mungkin sedikit aneh. Mengapa Riau ? Sebab Kalimantan secara geografis kan terletak di bagian timur dari Indonesia. Sebaliknya dengan Riau, yang bergeografis di bagian barat dari Indonesia.

Namun anggapan “aneh” tadi – saya kira akan menjadi sirna ketika kita memfokuskannya pada eksplorasi si emas hitam (minyak bumi) dimana melalui perspektif itu – justru menampilkan banyak kesamaan dari kedua daerah yang lekat dengan budaya melayu-nya itu.

Riau yang Kaya Sekaligus Miskin

Persinggungan pertama saya dengan daerah Riau, bukanlah langsung mengunjungi daerah itu. Walaupun sama-sama berada satu pulau dengan daerah tempat saya menetap (Lampung), sumpah deh – saya belum pernah ke Riau (sampai detik ini). Jadi darimana saya mengetahui daerah yang lokasinya dekat dengan negeri singa ini ? Salah satu yang bisa disebut ialah buku dan satu lagi ialah internet.

Buku yang saya maksud disini berjudul Indonesia diambang Perpecahan karya peneliti senior di LIPI, Syamsuddin Harris (Erlangga, 1999) bersama dengan kolega-koleganya di LIPI sana. Saya masih ingat dengan jelas, membaca buku setebal hampir 300 lembar ini saat mencari referensi untuk skripsi saya. Ada satu bab dalam buku yang membahas mengenai provisni Riau. Buku bercover warna hitam ini, intinya sih hendak menganalisis potensi disintegrasi dari empat wilayah di Indonesia, antara lain Aceh, Riau, Irian Jaya dan (kala itu) Timor Timur – pasca peristiwa reformasi Mei 1998.

Dalam bab pengantar yang ditulis oleh Syamsuddin Harris, Riau dipilih menjadi satu daerah untuk studi kasus karena tuntutan pemisahan dirinya berbeda dari ketiga daerah yang lain (aceh, Irian Jaya dan Timor Timur). Yang mana bila dirumuskan ke dalam pertanyaan: apakah tuntutan masyarakat Riau sungguh-sungguh ingin merdeka dan memisahkan diri dari Republik Indonesia (RI) ataukah sekedar unjuk rasa dalam rangka memperoleh perhatian yang lebih besar dari pemerintah pusat di Jakarta ?

Apakah perbedaan tersebut ? Riau termasuk provinsi pinggiran yang kaya di Indonesia ! Kekayaan alam Riau ini terutama adalah minyak bumi tadi. Tak mengherankan kondisi kekayaan alamnya itu menarik hati untuk dieksplorasi oleh perusahaan-perusahaan pertambangan, misalnya PT Caltex Pacific Indonesia (CPI). Melalui kekayaan alamnya ini, Riau tercatat sebagai daerah penyumbang devisa terbesar di Indonesia semasa rezim Orde Baru (Orba) berkuasa.

Tetapi dengan kekayaan alamnya yang melimpah tersebut, anehnya (masyarakat dan daerah) Riau tetap tergolong miskin dan terbelakang.

Disebutkan lebih lanjut dalam bab buku, disana (Riau) hadir beberapa perusahaan besar seperti Caltex Pacific Indonesia (CPI) tadi; tetapi tidak memberikan sumbangan yang signifikan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan sumber daya manusia-nya. Sekeliling kompleks CPI, misalnya, tampak jelas kantong-kantong kemiskinan.

Usut punya usut, ternyata ditemukan penyebab ketimpangan Riau masih tetap miskin lantaran kebijakan pemerintah pusat melalui penerapan otonomi daerah. Sebelum reformasi, negara kita menerapkan kebijakan otonomi daerah yang diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1974. Sayangnya dalam praktek, pasal-pasal yang terdapat dalam UU ini sengaja ditidurkan oleh rezim yang berkuasa kala itu (baca: Orde Baru). Dalam proses implementasinya pun, UU ini termasuk ambigu. Tidak jelas apakah yang hendak diimplementasikan adalah politik atau administrasi.

Selain itu juga dalam proses bagi hasil – baik dari pusat ataupun dari perusahaan CPI – sangat tidak berimbang. Sebagai contoh, perusahaan CPI yang telah beroperasi puluhan tahun di Riau, mengeksplorasi minyak di Riau – ternyata sangat pelit membagi hasilnya (baca: laba) kepada daerah Riau. Sedikit gambaran, CPI merupakan perusahaan terbesar yang mengeksplorasi minyak di Riau. Total produksinya mencapai 300,641 juta barel per tahun (data tahun 1992). Jika harga minyak 10 dollar per barel maka per harinya ialah senilai Rp 66 milyar atau 10 milyar sehari setelah pembagian antara CPI dan perusahaan lain yang berkongsi dengannya. Hasil bersih setelah pembagian hasil itu lantas diserahkan ke pemerintah pusat. Sedangkan Provinsi Riau hanya menerima bagian sekitar 30 juta dollar.

Belajar dari Riau

Riau merupakan potret kelam dari salah kelola SDM daerahnya. Kombinasi antara berbagai faktor penyebab seperti UU otonomi daerah yang justru menghambat perkembangan Riau sendiri; ambiguitas implementasi dari UU itu; tidak proposionalnya bagi hasil pendapatan dari pemerintah pusat dari perusahaan pengeksplorasi SDM kepada daerah Riau – menjadikan daerah yang sejatinya kaya raya – realitasnya tetap miskin. Istilahnya dijadikan sapi perah semata.

Disinilah menurut saya, Blok Mahakam harus belajar dari Riau. Sebagaimana dikutip dari laman SKKmigas.go.id disebutkan bahwa pengelolaan Blok Mahakam dilakukan oleh perusahaan TOTAL bersama dengan INPEX. Pengelolaan blok yang kaya akan cadangan minyak dan gas bumi ini menggunakan sistem kontrak dan sebagainya.

Saya tidak mempermasalahkan siapa pun pengelola blok tersebut. Hanya saja yang patut diperhatikan selama pengelolaan Blok Mahakam ini: pertama, pengelolaan Blok Mahakam haruslah bisa meningkatkan dan menyejahterakan kehidupan masyarakat daerah dan sekitar blok tersebut atau dengan kata lain, pengelolaan Blok Mahakam jangan dilakukan berbasis pada profit oriented untuk perusahaan semata. Melainkan harus difokuskan juga kepada masyarakat sekitar.

Kedua, UU otonomi daerah saat ini yakni UU Nomor 12 Tahun 2008 - sejatinya jauh lebih “enak” ketimbang UU otonomi daerah yang diterapkan di masa Orba. UU otonomi daerah saat ini, dalam pandangan saya – membuka keran seluas-luasnya bagi daerah untuk mengoptimalkan penggunaan/ pengelolaan kekayaan milik daerahnya (baca: SDA dan SDM) demi kepentingan daerah yang bersangkutan. Terlebih lagi, kepala daerahnya dipilih langsung oleh masyarakat melalui proses pemilihan umum (pemilukada).

Sungguh berbeda dengan kondisi dimasa Orba, dimana kepala daerah setempat dipilih atau tak lepas dari intervensi kepentingan pusat. Jadi sebenarnya dengan sistem pemilukada yang sekarang, masyarakat bisa menilai dan menimbang, manakah diantara calon-calon itu yang sekiranya terpilih nanti (menjadi pemenang) mampu memimpin daerahnya ke taraf lebih baik sesuai ideal yang dicita-citakan masyarakat daerah tersebut.

Nah masalahnya, catatan kinerja kepala daerah di Indonesia yang dihasilkan melalu pemilukada – faktanya lebih banyak negatifnya ketimbang positifnya. Hal negatif yang paling sering dilakukan oleh para kepala daerah hasil pemilukada ini tak lain tak bukan adalah praktek korupsi dan gratifikasi. Menteri Dalam Negeri era Presiden SBY, Gamawan Fauzi, pernah mengatakan terdapat 330 kepala daerah tersangkut kasus korupsi atau sekitar 86,2 persen (tempo.co, Juli 2014).

Karenanya, meski UU otonomi daerah yang sekarang diterapkan memberi kesempatan seluas-luasnya – bukan berarti badai pasti berlalu. Kinerja kepala daerah setempat tanpa tergoda melakukan praktek korupsi merupakan badai yang harus dilalui.

Terakhir, entah benar atau tidak. Konon bidang migas inilah sektor yang paling menggiurkan dan memberi celah terhadap praktek korupsi. Hal ini tak lepas dari posisi penting migas itu dalam kehidupan. Migas merupakan salah satu sektor vital untuk keberlangsungan dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline