Sehat adalah segalanya. Tanpa diri yang sehat, menjadi agak mustahil – kita melakukan aktivitas secara baik atau sempurna. Wajarlah bila setiap orang menginginkan diri yang sehat. Namun, yang namanya penyakit memang sukar diduga. Sekalipun kita (mungkin) terlah melakukan yang terbaik dalam menjaga kesehatan tubuh, misalnya makan teratur, nutrisi yang seimbang, olahraga secara konsisten, dan sebagainya. Penyakit tetap saja bisa datang tanpa diduga.
Seperti yang saya alami setahun lalu. Saya tak pernah menduga terdiagnosis penyakit SLE (Systematic Lupus Erythematosus) atau sering disebut sebagai penyakit lupus saja. Ini bermula saat seorang dokter (kenalan saya) nyeletuk demikian, “Ci, kok mukanya merah ?” Saat itu, saya sedang berkonsultasi dengannya mengenai keluhan penyakit yang saya derita. Sontak saya merespon celetukkan dokter itu. “Ah masa sih ?”
Lantas, dokter kenalan saya ini memberikan cermin kecil ke saya. Maksudnya sih supaya saya melihat sendiri “merahnya” wajah saya itu. Tak sampai lima menit memandang wajah sendiri – segera saya melihat wajah saya memang tampak merah di cermin itu. Segeralah percakapan meluncur seputar mengapa kulit wajah saya merah. Apa penyebabnya ?
Saya pun teringat pada facial foam atau foal pencuci wajah yang saat itu sedang saya gunakan. Dokter kenalan mengatakan kepada saya, bisa jadi facial foam tersebut tidak cocok dengan kulit wajah saya. Dia pun menyarankan supaya saya menghentikan pemakaian facial foam tersebut supaya tidak terjadi iritasi kulit yang lebih parah.
Pulang dari konsultasi dengan dokter, saya pun segera menunaikan saran tersebut. Akan tetapi, pasca penghentian penggunaan facial foam itu. Kulit wajah saya tetap saja berwarna kemerahan dan ada semacam bintik-bintiknya. Sering, teman-teman atau kerabat yang bertemu dengan saya – bertanya mengenai keadaan wajah saya itu dan saya hanya menjawab: iritasi. Cukup seringnya teman-teman atau kerabat yang bertanya hal yang sama, terus terang – membuat saya bosan. Pada satu sisi saya sendiri pun tidak tahu kenapa dengan kulit wajah saya yang kemerahan itu. Pada sisi lain, saya menjadi tertekan sebagai akibat keadaan tersebut.
Kondisi kemerahan di wajah saya bahkan bertambah parah. Lingkaran merah yang tadinya hanya kecil atau hanya berupa bintik-bintik menyerupai jerawat – menjadi membesar dan lingkaran merah itu terdapat pada kedua belah pipi saya.
Tidak Mempan
Beberapa bulan saya diamkan keadaan itu. Baru di bulan Juli 2014, saya memeriksakan kondisi kulit wajah ke dokter spesialis kulit yang berpraktek di sebuah rumah sakit swasta di kota saya. Singkatnya, usai mendengar segala keluhan saya, dokter meresepkan obat. Ada tiga macam obat (sepengingat saya), yakni obat oles (salep) dan obat yang dimakan (tablet). Dosis obat dijatahkan untuk dua minggu dan keluhan kulit yang saya derita, berkurang setelah rutin mengonsumsi obat dari dokter kulit tadi.
Satu bulan berlalu, tak disangka kulit kemerahan di wajah saya – timbul lagi. Kali ini lebih parah, karena kemerahan tersebut juga terjadi di sekitar lengan bawah dekat bagian bahu dan juga di bagian leher. Kali ini, saya segera melakukan check up ke dokter kulit (yang sama). Seperti biasa, saya pun diresepkan obat oleh sang dokter. Resep kali ini berupa salep atau krim dan tablet untuk diminum. Namun obat-obatan yang diresepkan oleh sang dokter, tetap saya tidak ampuh mengobati atau menyembuhkan kondisi kulit saya itu. Baikkan saat obat dikonsumsi secara rutin, lalu kembali bercak-bercak merah setelah dosis obat habis dikonsumsi.
Sampai disini, saya putuskan untuk berhenti berobat ke dokter kulit tersebut. Saya kembali mendiamkan bercak-bercak merah tersebut. Pusing maning tapi saya enggak tahu kenapa dengan kulit saya itu. Malah saya mulai berpikir, kalau dokter kulit yang telah meresepkan obat ke saya – sebanyak dua kali – itu salah memberi obat.
Diagnosis yang Mengejutkan !
Awal 2015 (ini juga setelah berpikir lebih jernih), saya putuskan untuk kembali memeriksakan kulit wajah yang bercak kemerahan tersebut. Saya mencoba check up ke dokter kulit yang lain – yang berpraktek di sebuah klinik apotek pusat kota saya dan dekat dengan tempat kost saya. Nah, dari dokter kulit yang inilah saya didiagnosis menderita lupus. Saat berkonsultasi dengan dokter yang bersangkutan – tentu saja saya ceritakan detil riwayat bercak merah tersebut. Termasuk memperlihatkan foto-foto kondisi wajah saya saat awal-awal dihinggapi bercak merah di wajah. Saya juga mengalami keluhan pegal-pegal seperti rematik.
Dokter pun menanyakan ke saya, “rambutnya rontok nggak ?” Yang saya jawab rontok. Di sinilah dokter lantas mendiagnosis bahwa saya terkena penyakit lupus. Waduh, lupus ? Begitu pikir saya usai mendengar diagnosis dari dokter itu. Saya pernah mendengar atau membaca nama penyakit yang satu ini. Hanya, saya masih belum begitu paham dan mikir juga sih: kok bisa ya terkena penyakit ini. Kepada dokter saya menanyakan mengenai penyakit lupus ini dan ia hanya berkata “nggak apa-apa kok.”
Saya pun disarankan untuk memeriksakan kondisi saya ke dokter spesialis penyakit dalam alias internis. Sekaligus juga melakukan cek darag guna memastikan apakah diagnosis itu negartif atau positif. Ada drama yang terjadi, sebenarnya – ketika mengurus cek darah berikut check up dengan dokter internis ini di sebuah rumah sakit swasta yang lain.
Pertama, yang paling nampak ialah – kita – sebagai pasien harus mengantre saat hendak berkonsultasi dengan internis tersebut. Hal ini wajar, kalau menurut saya. Jadilah saya bisa menyabarkan diri. Kemudian kedua ialah proses dan jenis cek darah yang harus dilakukan. Ada tiga macam cek darah yang harus saya jalani dimana dua dari tiga jenis cek darah tersebut free karena ditanggung oleh program kesehatan yang digulirkan oleh pemerintah.
Sedangkan satu jenis cek darah lagi, tidak dicover oleh program kesehatan yang digulirkan oleh pemerintah kita. Sehingga kita harus membayar supaya bisa menjalani cek darah tersebut. Cek darah yang ketiga inilah yang merupakan terpenting karena hasilnya menentukan negatif atau positifnya seseorang menderita penyakit SLE atau lupus.
Guna menjalani cek darah ini, saya membayar hampir Rp 500 ribu rupiah dan untuk mengetahui hasilnya, kita memerlukan waktu tunggu hingga seminggu setelah sampel darah kita diambil.
Sakit yang Membawa Berkah
Tahu sendiri bagaimana seorang yang harus menunggu hasil cek darah. Harap-harap cemas dan pasrah pastinya. Saat seminggu kemudian saya kembali ke rumah sakit yang sama untuk mengambil hasil cek darah dan berkonsultasi dengan dokter mengenai hasil cek darah tersebut (terlepas dari apapun hasilnya). Kepala, pikiran saya hanya plong kosong tetapi jauh di lubuk hati saya berdoa dan mensugesti menguatkan diri dengan jiwa yang positif.
Usai duduk sebentar di ruang tunggu rumah sakit, saya memantapkan hati melangkah ke ruang laboratoriumnya. Pada bagian admisitrasi laboratorium, saya menyerahkan surat cek darah saya seminggu yang lalu. Paramedis yang bertugas meminta saya menunggu sejenak. Saya pun kembali duduk di kursi ruang tunggu dekat ruang laboratorium. Mungkin ada 5-10 menit saya menunggu. Cukup tersiksa juga menanti sehelai amplop berisi kertas yang merupakan vonis dari penyakit saya ini. Apakah negatif ataukah positif.
Paramedis keluar dari ruang laboratorium. Nama saya: Ibu Karina Eka Dewi Salim, dipanggil olehnya. Saya beranjak bangun dan menerima amplop berwarna kuning dan putih. Perekat amplop tidak direkatkan menjadikan saya dengan mudah membuka dan mengeluarkan sehelai kertas yang ada di dalamnya. Saya baca sejenak hasil cek darah itu dan sungguh bersyukur bahwa hasilnya negatif.
Tetapi tetap saya harus memastikannya melalui pak dokter. Hasil cek darah itu kemudian saya tunjukkan kepada pak dokter internis-nya. Dia menelusuri sejenak tulisan dalam sehelai kertas dari amplop dan menyatakan bahwa saya negatif dari penyakit SLE atau lupus. Saya hampir tak percaya mendengar perkataan beliau dan beberapa kali mengulang pertanyaan demikian: “jadi saya bukan lupus, dok ?”
Dokter mengiyakan pertanyaan saya. Senyum dan hati yang terkembang meluap dalam sekujur tubuh saya. Rasanya..wah luar biasa dan saya sungguh bersyukur terhindar dari penyakit tersebut. Meskipun demikian, saya tetap harus mengonsumsi obat yang diresepkan olehnya kepada saya. Pak dokter berpesan kepada saya supaya menghindari sinar matahari panas di siang hari. Sebelum keluar dari ruang periksa, saya menyalami erat tangan pak dokter dan juga paramedis yang bertugas sebagai asistennya sembari tak lupa mengucapkan terima kasih.
Vonis negatif dari penyakit SLE ini sungguh berdampak signifikan bagi kehidupan saya selanjutnya. Utamanya sih saya jadi lebih perhatian terhadap [ola makan dan nutrisi yang saya masukkan ke dalam tubuh melalui makanan yang saya santap. Dari sini pula, saya menyadari sangat akan perlunya untuk mengasuransikan diri. Dulu saya berpikir berat asuransi. Mengapa ? Sebab preminya – menurut saya – cukup besar.
Namun pengalaman didiagnosis ini mengubah mindset dan persepsi saya mengenai berat asuransi tadi. Saya teringat ketika menunda memeriksakan kondisi kulit kemerahan tersebut. Sebenarnya tergolong terlambat, lantaran berbulan-bulan kemudian baru melakukan check up ke dokter. Tak lain tak bukan karena ketiadaan dana. Saat itu, total dana yang harus saya keluarkan untuk melakukan dua kali check up (di dokter kulit yang pertama) dan menebus obatnya di apotek rumah sakit yang bersangkutan mencapai lebih dari Rp 500 ribu.
Selanjutnya, melakukan cek darah untuk kepastian SLE atau bukan – saya juga mengeluarkan dana sekitar segitu juga. Dari pengalaman tersebut, saya berpikir ke lampau. Seandainya saja sejak dulu saya mengikuti program asuransi. Pasti segala dana yang saya keluarkan untuk pemeriksaan dan pengobatan tersebut – dicover oleh perusahaan asuransi yang bersangkutan. Info mengenai pencoveran ini saya dapatkan dari seorang kawan yang berprofesi sebagai finacial consultant di sebuah perusahaan asuransi. Sebut saya perusahaan asuransi A.
Berdasarkan hasil penelusuran saya juga, menganai penyakit yang didiagnosiskan oleh dokter kepada saya. Ternyata SLE atau lupus merupakan penyakit yang tergolong ganas bahkan setara dengan kanker. Saat kekebalan tubuh (imunitas) yang seharusnya menjadi perisai dari penyakit. Apa yang terjadi dengan penyakit SLE atau lupus adalah sebaliknya, yaitu kekebalan atau imunitas malah menyerang oragn tubuh penderitanya. Mendeteksi penyakit lupus pun bukan perkara mudah. Lantaran lupus dikenal sebagai penyakit seribu wajah. Lupus merupakan penyakit yang sangat ulung meniru.
Sedihnya, sampai detik ini – penyakit ganas ini – belum ada obatnya. Sehingga praktis merupakan penyakit seumur hidup yang harus ditanggung oleh penderitanya. Yang bisa dilakukan ialah menjalani pengobatan melalui terapi dan obat-obatan dan semua itu tidaklah murah. Kabarnya, seorang penderita lupus memerlukan obat-obatan senilai Rp 900 ribu untuk jangka waktu 2 minggu. Bisa dibayangkan berapa banyak dana yang harus dikeluarkan atau ditanggung bertahun-tahun. Sementara program kesehatan yang digulirkan oleh pemerintah kita, tidak mencover pengobatan untuk penyakit lupus ini.
Kalau sudah begini, saya rasa kata atau pemikiran “berat asuransi” wajib disingkirkan jauh-jauh. Ibarat pepatah yang menyatakan berakit-rakit dulu ke hulu, berenang-renang kemudian. Saya kira beginilah bila kita menjadi seorang nasabah asuransi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H