Lihat ke Halaman Asli

MotoGP Le Mans, Kebangkitan Rossi-kah?

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Otomotif. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Serba-serbi MotoGP, Sebuah Catatan (1)


Sudah lama saya menjadi pengagum olahraga otomotif MotoGP, tanpa bermaksud lebay – adalah sekiranya sepuluh tahunan saya menjadi MotoGP mania. Namun bersamaan dengan itu, sudah cukup lama juga saya absen menonton perhelatan ini khususnya saat dipertandingkan secara live (setiap minggu) di sebuah stasiun televisi swasta nasional kita. Bukan tanpa sebab, yang menjadikan saya absen menontonnya:a) saya bekerja jadi sudah jelas waktunya tersita untuk berkonsentrasi pada pekerjaan, maklum lah pekerjaan saya kan kuli tinta. Tapi itu dulu. Sekarang sudah tidak lagi (walau tetap menggeluti dunia penulisan); b) jadi mestinya saya punya waktu kan ? Eh malang tak dapat ditolak lantaran tangkapan siaran televisi yang menayangkan siaran live MotoGP itu kurang baik. Waktu itu saya masih tinggal di daerah Cut Nyak Dien Palapa, dari rumpian di kalangan tetangga konon lokasi situ tertutup oleh gunung (bukit kali ya ? Bukan gunung) jadi pancaran siaran (gelombang frekuensi dari channel stasiun televisi yang bersangkutan terhalang oleh bukit-bukit tadi.

Tak ayal, setiap menyetel channel stsiun televisi tersebut, suara berisik dan gambar yang hujan gerimis itulah yang menjadi langganan dan meski antenanya sudah diputar ke arah sana sini. Setelah saya pindah (tempat tinggal) ke Jalan Ahmad Yani, Ternyata sama saja, berisik dan gambar hujan gerimis tetap saja menghampiri setiap saya memancang stasiun televisi tersebut. Apa nggak sengsara menonton siaran live MotoGP dengan kondisi seperti itu ?

Dan c) Valentino Rossi saya (Boleh kan menyebutnya begitu ?) prestasinya sedang memble, khususnya semenjak dia berpindah ke Tim Ducati awal 2011 lalu. Prestasi Vale yang acakadut, tidak konsisten dan melempen kayak nilai rupiah kita yang ngos-ngosan dihajar oleh Dollar USA, bikin saya males deh ngeliatnya. Jadi daripada saya menyiksa mata, telinga dan hati, kan lebih baik saya idak usah menonton saja.

Le Mans: Dibenci dan Dicinta

Hanya saja sedikit aneh, kenapa pada hari Minggu kemarin (20/5) saya kok tiba-tiba niat sekali mantengin channel televisi yang menayangkan live MotoGP dan semakin aneh, kenapa juga pada hari tersebut, stasiun televisinya tidak berisik plus siaran gambarnya mulus (walau tidak semulus kulit Dian Sastrowardoyo). Ya sudah, jadilah saya pantengin saja sambil mikir kayaknya Rossi (lagi-lagi) cuma bakal jadi penyemarak saja. Apalagi ini balapannya di Sirkuit Le Mans yang konon bukan salah satu sirkuit favorit pebalap kelahiran Urbino - Italia, 33 tahun yang lalu. Statisik perolehan juara Rossi di Sirkuit Le Mans bukan dibilang menggembirakan pula. Prestasi terbaik yang pernah ditorehkan oleh pebalap nyentrik ini, hanyalah finish di posisi ke 3 pada 2011 lalu - yang sekaligus menjadi ironis bahwa setelah sukses di Le Mans itu, seorang Valentino Rossi tidak lagi mampu finish di urutan puncak pada seri-seri sesudahnya. Valentino Rossi sendiri juga pernah mengakui jika Le Mans bukanlah menjadi salah satu sirkuit favoritnya.

Namun tampaknya dia perlu mecabut pernyataannya mengenai ketidaksukaannya terhadap sirkuit yang berada di negara yang terkenal dengan Menara Eiffel-nya ini. Hasil finish kedua dengan berbekal start dari posisi ke tujuh, merupakan hasil yang cukup manis pada Minggu gerimis itu. Yang semakin menarik adalah bagaimana upaya dia merengkuh posisi runner up tersebut. Dimana pada awal-awal lap, Valentino Rossi langsung menyodok ke urutan depan lalu tampil konsisiten di posisi keempat sambil dibarengi usaha untuk naik ke posisi tiga.

Setelah bertengger di posisi ketiga, Valentino Rossi tetap berusaha mempertahankannya. Disinilah ancaman mulai menghadang. Di depan dia harus mengejar Casey Stoner yang menggeber Honda, sementara di belakangnya ada duo Monster Yamaha Tech 3, Cal Crutchlow dan Andrea Dovizioso yang mulai menempel ketat di belakangnya. Aksi menarik terjadi saat duo Tech itu bersama Rossi head to head saling berebut posisi ketiga. Rossi sempat disalip oleh Crutchlow. Tak lama berselang, Rossi disalip oleh Dovizioso. Sementara Rossi terdesak di belakang mereka, antara Dovizioso dan Crutchlow sendiri saling berebut posisi. Sungguh aksi yang mengingatkan kita akan sportifitas sebuah pertandingan olahraga, pasalnya Dovizioso dan Crutchlow merupakan teammate.

Mungkin lantaran keduanya terlalu berkonsentrasi berebut posisi, mereka tidak sadar jika Valentino Rossi diam-diam terlah mempersempit gap dengan keduanya. Sehingga di lap ke 19 dengan penuh kemantapan, ia menyalip keduanya secara berurutan. Rossi pun kembali bertenggar di posisi ketiga dan tak tergoyahkan.

Tapi nanti dulu, sebab pemilki angka keramat 46 ini terus berusaha memperkecil catatan gap-nya dengan Stoner yang masih bertatahan di posisi kedua. Posisi pertama ditempati oleh pebalap Yamaha, Jorge Lorenzo yang nantinya hingga balapan usai menjadi kampium. Momentum memperkecil gap semakin terbuka setelah pada lap ke 21, Rossi berhasil membukukan fastest lap. Dan akhirnya, aksi yang paling dramatis ialah duel head to head antara Rossi dan Stoner saat balapan menyisakan 3 putaran lagi. Usaha pertama Rossi menyalip stoner terjadi pada tikungan S lap ke 28 dan berhasil tetapi berhubung Rossi melebar, pada tikungan selanjutnya Stoner segera melakukan aksi menyalip Rossi lagi.

Keadaan tidak berubah namun jarak Rossi tetap dekat dengan Stoner yang memungkinkan dirinya untuk menjaga peluang untuk menyalip kembali. Dan memang benar, momentum kedua ini terjadi saat balapan hanya menyisakan satu lap terakhir. Dengan gaya khas–nya, pebalap yang dijuluki si bangor ini melakukan manuver mendahului rival asal Australia-nya itu. Rossi mampu mempertahankan posisi hingga garis akhir menyentuh finish.

Keajaiban atau Kebangkitan ?

Melihat balapan Le Mans itu, saya jadi teringat pada masa-masa dimana Valentino Rossi senantiasa menjadi kampiun. Namun maaf, bukan di kelas MotoGP, melainkan di kelas GP Motor. Dalam kelas yang terakhir kali digelar pada musim 2001 itu (pada tahun 2002 GP Motor diganti dengan MotoGP) Rossi tercatat membela tim Nastro Azzuro Honda. Tim ini dibentuk oleh Juara Dunia GP Motor 5 kali asal Australia, Michael “Mick” Doohan. Lazimnya sebuah tim yang memiliki dua pebalap, tim ini hanya memiliki pebalap seorang yaitu Valentino Rossi. Kabar lain yang beredar menyebutkan jika Mick Doohan sedari awal mendirikan tim ini hanya untuk seorang Valentino Rossi.

Walaupun begitu, The Doctor sanggup membuktikan kelas dia sebagai pebalap kelas wahid, salah satu pebalap yang terbaik. Seingat saya lagi, saat memulai lomba, tak jarang Rossi start dari posisi tengah atau buncit. Seperti di Catalunya 2001 dimana dia tidak meraih pole position. Valentino Rossi start dari posisi 11, pun di Sirkuit Assen, Belanda, dia start dari posisi 10. Perlahan namun pasti, Valentino Rossi mampu mengejar rider-rider di depannya bahkan rider yang merupakan seteru beratnya: Max Biaggi juga bertekuk lutut.

Masalahnya itu dulu, Rossi masih muda dan ditunjang oleh motor yang performanya sangat mumpuni plus jangan lupakan dukungan team terhadapnya yang sangat solid. Sedangkan sekarang, Rossi boleh dibilang sudah tidak semuda dulu, pebalap yang memiliki tato kura-kura di tubuhnya ini sudah berusia kepala tiga. Tapi saya percaya sih, Valentino Rossi tetap memiliki gairah membalap yang tinggi. Tambahan, pernah ada sebuah ramalan bila rekor Giacomo Agostini (pebalap asal Italia yang juara dunia kelas utama MotoGP 7 kali) hanya bisa dilampaui oleh “bocah gendheng” Italia. Bocah gendheng-nya ? Siapa lagi kalau bukan Valentino Rossi ! Okelah, jadi usia bukan sebuah masalah yang terlalu menghambat. Yang menjadi masalah utama ialah tunggangan The Doctors, Ducati Desmosedici.

Menilik catatan sepanjang tahun 2011 lalu, saya jadi khawatir jika torehan prestasi yang dikukuhkan olehnya kemarin bukanlah “kebangkitan” Rossi selamanya, melainkan hanya sebuah “keajaiban” sesaat dimana tunggangan Ducati memang kebetulan lagi kompetitif saja (ingat pernyataan Rossi tentang Ducati memang cocok dan kompetitif di trek basah. Kemarin Sirkuit Le Mans diguyur hujan gerimis saat mengelar kelas utama MotoGP).

Mengenai faktor performa motor yang kurang mumpuni ini, mungkin Valentino Rossi bisa belajar dari mantan rival dan seniornya, Kenny Roberts Jr. Pada musim balap tahun 2000, Roberts mampu merengkuh titel juara dunia secara meyakinkan (9 kali juara dan 4 pole positian). Lalu di tahun berikutnya – yang kemudian menjadikan Rossi sebagai kampium Dunia – prestasi Roberts menurun drastis. Sangat jarang dia memenangi perlombaan. Jangankan menang, menorehkan pole position ataupun fastest lap saja, Roberts sudah sangat kesusahan dan biang utama anjloknya putra dari pebalap Kenny Roberts Sr ini ialah tuggangannya,

Pasca anjlok tersebut, Roberts tak pernah bangkit kembali hingga kemudian dia gantung motor di tahun 2007. Sangat tragis bukan ? Tentu kita para pengemar MotoGP (terlebih para penggemar Valentino Rossi) tak ingin nasib Roberts menimpa Valentino Rossi. Lebih-lebih bila kita sadari, keberadaan Valentino Rossi di kancah MotoGP yang lebih dari sekedar pebalap yang bertanding guna memenangkan perlombaan. Masih segar dalam ingatan saya, ada saja ulah dari Valentino Rossi usai dia meraih kemenangan dalam perlombaan MotoGP.

Mulai dari berkostum unik (selebrasi ini kerap dilakoninya saat merengkuh titel juara dunia. Satu yang sangat berkesan bagi saya ialah saat selebrasi kemenangan juara dunia 2001 yang mana dia mengenakan kaus bergambaran kartun dirinya dengan di bawah gambarnya terdapat tulisan pepenero), mata kita juga sering dimanja oleh aksi wheelie dan sliding yang selalu dilakukannya pasca memenangi seri perlombaan, Kegemaran lain ? Rossi hobi berganti corak helm dan kostum balapnya. Satu yang paling unik ialah saat balapan di Mugello tahun 2001, dimana Rossi mengenakan kostum balap dengan corak penari bikini hawaii. Membawa keberuntungan sekaligus kesialan. Soalnya menjelang tiga tikungan pada lap terakhir, Rossi yang sejatinya bisa menjadi pemenang malah terjatuh. Alhasil mahkota Mugello 2001 itu dimenangi oleh Alex Barros dari tim Honda Ponds. Singkatnya, semoga saja momentum Le Mans merupakan kebangkitan sejati dari seorang rider bernama Valentino Rossi. Membayangkan MotoGP tanpa Valentino Rossi ? Enggak bangeet deh !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline