Lihat ke Halaman Asli

Nasib Anak Kost; Belum Sebulan, Sudah Kebanjiran

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata orang bijak, nasib manusia ditentukan oleh individu yang bersangkutan. Itu benar dan saya setuju. Namun bersamaan upaya kita menentukan nasib sendiri, seringkali pula sang nasib tak bisa diduga. Jika yang menghampiri adalah nasib baik, itu merupakan berita gembira dan patut disyukuri. Sebaliknya jika yang menghampiri adalah nasib buruk, ibarat pepatah – malang pun tak dapat ditolak.

Seperti saya, siapa yang menyangka bila harus menjadi yatim piatu dan menjalani kehidupan bak sinetron ala Indonesia. Sebagai akibatnya, hidup saya pun menjadi nomaden. Perjalanan nomaden ini tepatnya dimulai pada November 2011. Berhubung saya sudah tidak kerasan tinggal di tempat saudara dari pihak bapak, dus saya sendiri (kala itu) tak lagi memiliki rumah – maka ngekost menjadi pilihan yang paling logis.

Tempat kost pertama saya berada di bilangan Jalan Ahmad Yani, Tanjung Karang – tepat sebelum tikungan (sisi kiri) menuju ke Poltabes Kota Bandar Lampung. Wisma YKIL, nama tempat kost-nya dan kamar kost saya di wisma ini berada di lantai dua-nya. Kesan saya terhadap Wisma YKIL ini boleh dibilang lumayan. Harga sewa kamar yang harus dibayarkan per bulan cukup sepadan dengan lokasi dan fasilitas yang saya dapatkan plus ukuran kamarnya. Walau tanpa AC sih.

Dan biarpun namanya wisma, jangan dibayangkan “besar”. Wisma YKIL ini hanya memiliki dua lantai. Pada lantai pertama terdapat satu paviliun (yang disewakan), bagian depan atau sebelah paviliun terdapat toko kecil yang saat itu difungsikan sebagai toko baju milik putri bapak kost saya dan di antara paviliun dan toko itu, terdapat satu kamar sebagai tempat tinggal penjaga kost. Onang, nama penjaga kost di wisma ini. Selain bertugas menjaga wisma, Onang yang berperawakan tambun, kepala plontos dan berkulit gelap ini juga bertugas menjadi tukang kalau wisma memerlukan perbaikan atau renovasi seperti mengecat tembok dan sebagainya. Juga jika ada keluhan dari para penghuni kost di wisma (tentu keluhannya yang berkaitan dengan kost-kost an mereka), bisa disampaikan kepada si Onang ini untuk nantinya diteruskan kepada pemilik kost alias bos-nya.

Sedangkan lantai dua wisma, hanya terdiri dari empat kamar saja – yang kesemuanya dihuni oleh perempuan. Sewaktu saya resmi menjadi salah satu penghuni kost di Wisma YKIL, sempat bergaul sedikit dengan tiga penghuni kost yang sudah lebih dulu disitu. Penghuni kost kamar satu merupakan pegawai di bank sentral Indonesia, orangnya tinggi, kurus, berkulit agak gelap tetapi cantik dan manis. Kalau kemana-mana (termasuk pulang pergi kerja) selalu menyetir kendaraan sendiri (toyota Yaris berwarna abu-abu metalik). Penghuni kost di kamar satu ini merupakan rantauan dari Padang, Sumatera Barat. Sesekali di akhir pekan, biasanya saya dan dia pergi keluar; dan boleh dibilang, dengannya inilah saya berinteraksi cukup akrab. Sekarang saya dengar-dengar, dia sudah dimutasi ke Bandung.

Penghuni kost di kamar dua, kabarnya kerja di dinas PU. Hanya saja berstatus honorer/ belum PNS (entah kalau sekarang ya). Saya jarang mengobrol dengan penghuni kost kamar dua dan sepertinya penghuni kamar kost dua ini juga nggak terlalu berminat berbasa-basi dengan saya. Pernah kami papasan di teras wisma dan seperti layaknya tetangga, saya mencoba bersikap ramah dengan membuka obrolan. Akan tetapi kentara sekali dari bahasa tubuhnya kalau dia kurang nyaman dan seperti hendak terburu-buru menjauh dari saya. Oh ya, penghuni kost kamar dua ini juga merupakan rantauan asal Padang, Sumatera Barat.

Penghuni Kost kamar empat, orangnya pendek, gendut, muka standar walau berkulit cerah dan rambutnya itu loh – dicat warna merah kepirangan. Kabarnya dia ini bekerja sebagai agen asuransi. Tapi yang menurut saya agak lucu adalah pilihannya ngekost. Pasalnya dia ini orang lokal sini (Lampung), jadi kenapa toh memilih ngekost ? Tidak tinggal bersama keluarga dan saudara serta orang tua-nya ? Kalau tak salah ingat, ketika mengobrol dengannya – dia pernah bilang ngekost lantaran ingin mandiri dan pengen tempat yang tenang. Keluarganya adalah keluarga besar, sehingga di rumahnya selalu ramai. Wes, terserah dia deh.

Selama lebih dari dua tahun saya ngekost di Wisma YKIL, sebenarnya tidak ada keluhan berarti. Selain mungkin persoalan atap bocor dan oh, ada satu yang menurut saya parah dan ini terjadi ketika saya belum genap sebulan ngekost di Wisma YKIL. Lupa tanggal kejadiannya, hanya ingat bulannya Desember 2011. Tahu sendiri kan kalau bulan Desember memang merupakan bulan-bulan hujan di negara kita dan termasuk hujan intensitas tinggi.

Jadi ceritanya sekira pukul 13 WIB-an, hujan pun mulai menguyur seluruh Tanjung Karang, Kota Bandar Lampung. Untungnya pada saat itu saya tidak berpergian kemana pun, hanya di kost an saja. Menikmati hujan deras, paling nikmat kan tidur atau sambil bermalas-malasan di tempat tidur dan itulah yang saya lakukan. Akan tetapi tiba-tiba mata saya terpatok pada “benda” yang masuk melalui pintu belakang kamar kost saya.

“Kok sepertinya air ya ? Benar nggak sih ? Apa saya salah lihat ya ?” Begitu pikir saya kala melihat benda jernih mengalir itu dan bukan tanpa sebab. Pasalnya pintu belakang kamar kost itu kalau dibuka langsung menyambung dengan dapur kecil yang merangkap tempat mencuci dan menjemur pakaian serta mencuci piring saya. Maka bangunlah saya dari tempat tidur dan mulai berjalan perlahan mendekati objek kecurigaan saya.

Gilanya, benar dugaan saya bahwa itu air ! Air hujan yang masuk ke dalam kamar kost saya ! Segera saya kalang kabut menyeroki air yang tak terhingga masuk ke dalam kamar kost, sambil juga menyelamatkan barang-barang saya yang teronggok di lantai. Saya nggak tahu berapa lama sibuk menyeroki atau memeras air banjir ke kamar saya itu, mungkin saja sampai sore – yang jelas kamar saja benar-benar habis dilanda air hujan tersebut dan semakin parah atau apesnya ya – saat sibuk menyeroki dan memeras air hujan yang masuk ke kamar – saya sempat terpleset jatuh karena melangkah kurang hati-hati plus lantai licin pula.

Agak kecewa hati saya, masa baru ngekost beberapa minggu di wisma ini sudah harus menerima kenyataan pahit kamar kebanjiran. Mengenai penyebab kebanjiran ini, saya menduga lubang yang difungsikan sebagai tempat membuang air ke bawah (lantai satu) terlalu kecil. Sedangkan lubang yang berada di lantai dua (genteng) cukup besar. Luapan air yang keluar dari pipa inilah yang lantas tidak dapat dialirkan oleh lubang pipa menuju ke lantai bawah. Luapan inilah yang akhirnya meluber dan membanjiri seluruh kamar saya.

Keesokan harinya, segera saya melaporkan kejadian banjir ini kepada penjaga kost – si Onang itu sambil menceritakan dugaan saya mengenai pipa-pipa airnya dan lusanya, datanglah seorang tukang yang memeriksa kondisi kamar, khususnya pada bagian belakang. Pada bagian pintu belakang kamar kost saya kemudian dibikin semacam undakan kecil pembatas yang tujuannya mencegah air masuk ke dalam kamar. Ini juga sesuai permintaan saya.

Apakah cerita kebanjiran berakhir disini ? Tidak juga. Mungkin saya masih trauma, karena selama ngekost di sana – khususnya dalam masa-masa musim hujan – saya selalu ketakutan dilanda peristiwa banjir seperti itu lagi. Kalau pun tidak banjir, saya harus menghadapi masalah lain berupa atap bocor. Soal bocor ini awalnya di plafon yang berada dekat pintu belakang kamar kost saya. Jika hujan gerimis, tak apa.

Saat hujan lebat lah yang menjadi masalah, bisa dipastikan airnya merembesi plafon tersebut sampai perlu ditadahi oleh ember. Persoalan atap bocor ini pun telah saya laporkan kepada penjaga kost Onang dan sudah pernah dibetulkan. Tapi kiranya benar ya, membetulkan atap bocor itu tak semudah dugaan kita. Alih-alih kebocorannya berkurang, ini malah sami mawon dan belakangan (di bulan-bulan akhir menjelang kepindahan saya ke tempat kost baru) bocornya malah makin parah. Plafon kamar mandi nggak luput dari kebocoran ini dan yang bikin jijik, mungkin saking lembab-nya sampai-sampai plafonnya ditumbuhi jamur liar. Hiiii….

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline