Lihat ke Halaman Asli

Suparman Petani Sawi dan Orang Kaya

Diperbarui: 8 Januari 2018   16:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Daerah daratan tinggi adalah tempat yang cocok untuk menanam sayur-sayuran. Di bawah kaki pegunungan yang menjulang tinggi, berjajar lahan-lahan syuran dan buah-buahan yang tumbuh subur. Suasana hijau dan segar terasa dari jalanan yang meliuk-liuk dan menanjak-nanjak.

Tak jarang pula terlihat mobil-mobil pick up yang mengangkut berkilo-kilo hasil kebun untuk dikirim ke pasar. Dan sebagian dari para petani itu ada yang masih menggunakan sepeda ontel untuk mengangkut hasil panennya ke pasar. Bahkan tidak jarang pula terlihat dokar-dokar yang di tarik kuda mengankut buah-buahan yang baru dipetik.

Salah satunya adalah Suparman, seorang petani sawi yang masih menggunakan sepeda ontel tua untuk pulang dan pergi meladang, juga mengangkut hasil buminya. Ia bukanlah petani yang memiliki ladang besar, hanya sepetak tanah yang ditanami sawi dan wortel, sedang di kanan-kiri ladangnya tumbuh subur perkebunan kol dan sayur-mayur lainnya.

Setiap pagi, ia pergi ke ladangnya dengan mendorong sepedanya, lantaran perkebunannya ada di atas, sedang rumahnya yang reot itu ada di bawah, barulah ketika siang hari, ia pulang dengan menaiki sepedanya, tanpa mengayuh. Mungkin karena itulah, sepeda peninggalan bapaknya itu masih awet sampai sekarang.

Dan di rumahnya, ia hanya hidup bersama Parjo, anaknya. Parjo pun masih SMP dan bersekolah di dekat rumahnya itu. Terkadang, ketika hari libur, Parjo membantu bapaknya ke kebun, juga ke pasar untuk menjual hasil panen.

Meskipun apa yang ditanamnya itu dihargai murah, bagi Suparman yang penting cukup untuk biaya hidup sehari-harinya. Ia sangat bahagia dan mensyukuri apa yang ia punya tanpa melihat orang lain yang di atasnya dalam segi kekayaan. Setiap hari pun ia selalu pergi ke masjid untuk melaksanakan sholat berjamaah.

Sampai pada hari itu, seperti biasanya, Suparman mendorong sepedanya ke ladang. Sesampai di ladangnya yang hanya berukuran tidak lebih lebar dari ladang tetangganya itu, Suparman bergegas menyiramkan pupuk dan air. 

Tentu saja, ia berharap bisa panen masksimal nantinya. Dan ketika panen, seperti biasanya Suparman menyerahkan hasil panennya untuk dijual ke koprasi sebagian, sedang sebagian lainnya ia jual sendiri ke pasar. Entah mengapa ia tidak menjual semuanya ke koprasi, tetapi bapaknya dulu melakukan hal itu.

Hari mulai siang, matahari mulai naik di atas kepalanya. Suparman pun menghentikan pekerjaannya dan memilih istirahat terlebih dahulu di gubuk yang ia dirikan di ladangnya. Sambil menikmati kopinya yang sudah dingin, ia tersenyum ramah melihat jalanan yang ramai lalu-lalang mobil mewah. Mungkin ini saat liburan, sehingga banyak orang kota yang pergi berlibur, batinnya.

Di tengah istirahatnya itu, tiba-tiba sebuah mobil hitam sedan menepi di depan gubuknya. Tentu saja Suparman bingung, untuk apa mobil itu menepi? Padahal, kebunnya bukan tempat yang bagus untuk berfoto.

Tanpa beranjak dari tempat duduknya, turunlah seorang berpakaian rapi dan bersepatu mengkilat, menyusul kemudian dua orang yang juga berpakaian rapi, hanya saja tubuhnya lebih besar. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline